![]() |
| Gus Hilman, Ketua Umum GASGUS Indonesia.(Dok/Istimewa). |
Sehari setelah tayangan itu viral, Trans7 menyampaikan permintaan maaf resmi dan mengakui adanya kekeliruan dalam pengemasan materi. Pernyataan tersebut dimuat di berbagai media nasional serta kanal resmi stasiun televisi itu. Namun, polemik belum juga reda.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kemudian menjatuhkan sanksi penghentian sementara terhadap program Xpose Uncensored, dengan alasan tayangan tersebut tidak memenuhi standar isi siaran sebagaimana diatur dalam P3SPS KPI 2012. Regulator menilai isi siaran pada episode itu tidak proporsional dan berpotensi menimbulkan kegaduhan publik, bukan memperkuat integrasi sosial sebagaimana fungsi penyiaran yang semestinya.
Di tengah derasnya kritik dan sorotan, Ketua Umum GASGUS Indonesia, Muhammad Hilman Mufidi atau Gus Hilman, menilai bahwa peristiwa ini seharusnya dijadikan cermin untuk memperkuat disiplin jurnalisme.
“Masalahnya bukan sekadar pada perbedaan pendapat, tapi pada metode kerja pers ketika menyentuh tema keagamaan dan lembaga pendidikan,” ujar Hilman saat diwawancarai, Rabu (15/10/2025).
Menurutnya, jurnalisme yang baik berdiri di atas empat tiang utama: kebenaran yang dapat diverifikasi, keberimbangan narasumber, independensi dari prasangka, dan proporsionalitas penyajian.
“Kalau ukuran itu ditegakkan, publik akan mendapat gambaran yang adil, bukan kesimpulan serampangan,” tegasnya.
Ia menambahkan, pemisahan antara fakta dan opini, serta keterbukaan terhadap sumber dan konteks, menjadi pagar pertama agar visual yang disiarkan tidak berubah menjadi stigma.
Pandangan Gus Hilman tersebut sejalan dengan tiga rujukan utama dalam praktik jurnalisme profesional.
Pertama, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menegaskan pentingnya uji informasi, akurasi, dan keberimbangan dalam setiap karya jurnalistik. Prinsip ini menjadi landasan dasar agar publik mendapatkan informasi yang benar dan tidak menyesatkan.
Kedua, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI 2012 mengatur tentang kesantunan dan proporsionalitas isi siaran, terutama saat media membahas nilai-nilai agama atau lembaga pendidikan yang memiliki sensitivitas sosial tinggi.
Ketiga, Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menempatkan kebenaran, disiplin verifikasi, serta independensi sebagai kompas kerja setiap wartawan. Ketiga hal ini, menurut Hilman, harus menjadi fondasi agar media tidak tergelincir dalam dramatisasi dan kehilangan makna edukatifnya.
Bagi Hilman, kegaduhan yang muncul dari tayangan Xpose Lirboyo sesungguhnya berakar pada konteks yang hilang. Dalam tradisi pesantren, gestur penghormatan santri kepada kiai merupakan simbol adab dan penghormatan terhadap ilmu. Namun, tanpa penjelasan yang memadai, potongan visual tersebut justru disajikan sebagai sesuatu yang ganjil dan salah tafsir.
“Ketika konteks hilang dan suara pembanding absen, penonton diarahkan pada tafsir tunggal. Dari situ stigma bisa lahir,” ujarnya menambahkan.
Sanksi KPI terhadap Xpose Uncensored menjadi pengingat penting bahwa standar profesi penyiaran tetap berlaku dan harus ditegakkan. Laporan ANTARA menyebut keputusan itu diambil setelah penilaian mendalam terkait fungsi sosial siaran, sedangkan Republika mencatat alasan bahwa program tersebut dinilai melukai komunitas pesantren.
Sementara itu, Trans7 menyatakan akan melakukan evaluasi internal, termasuk memperbaiki alur verifikasi dan penyusunan naskah agar lebih proporsional di masa mendatang. Langkah tersebut diharapkan menjadi momentum bagi industri penyiaran untuk memperkuat kembali standar etik dan kualitas kerja redaksional.
Bagi Gus Hilman, kasus Xpose Lirboyo adalah cermin besar bagi ruang redaksi televisi.
“Pertanyaannya sekarang: apakah ‘bagaimana sesuatu terlihat’ sudah mengalahkan ‘bagaimana sesuatu bekerja’? Jurnalisme sejatinya mencari kebenaran, bukan sekadar efek dramatis,” ujarnya menutup pembicaraan.
Di tengah riuh linimasa dan perdebatan publik, pesan itu menggaung sebagai pengingat moral: mutu jurnalisme ditentukan oleh kejujuran dalam prosesnya — kebenaran yang teruji, verifikasi yang nyata, dan independensi yang terjaga. Jika prinsip itu dijalankan dengan sungguh-sungguh, layar kaca akan kembali menjadi ruang pencerahan, bukan panggung sensasi. (Had)


Komentar