|
Menu Close Menu

Penguatan Pancasila, Antara Islamophobia dan Komunisophobia

Selasa, 16 Juni 2020 | 18.46 WIB


Oleh : Moch Eksan 

Pro kontra Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), telah menyita perhatian publik. Munculnya banyak penolakan dari MUI, NU, Muhammadiyah, dan massa umat Islam lantaran RUU HIP disinyalir membuka peluang bagi bangkitnya ajaran dan gerakan sosial komunisme di Indonesia.

RUU HIP ini hak inisiatif DPR atas usul Fraksi PDIP yang sudah disepakati dalam rapat paripurna (12/05/2020), menjadi Program Legislasi Nasional 2020. Semua fraksi setuju kecuali Fraksi Partai Demokrat dengan alasan waktunya kurang tepat.

Tak ada satu pun fraksi di Gedung Senayan yang awas, bahwa sejak lahir RUU HIP ini menghilangkan konsideran TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah NKRI Bagi PKI, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebaran dan Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Keberadaan Pasal 7 tentang intisari Pancasila menjadi Trisila dan kemudian Ekasila membuka luka lama perseteruhan ideologis antara kekuatan Islam dan kekuatan komunis di Tanah Air.Perseteruhan ideologis itu telah menoreh tinta hitam bagi perjalanan sejarah bangsa.

Lembaran sejarah bangsa dipenuhi catatan pengkhianatan terhadap Pancasila yang berujung konflik fisik anyir darah antar anak bangsa. Banyak nyawa hilang untuk memperebutkan supremasi ideologis dan politis. Perjalanan revolusi bangsa memakan korban anak bangsanya sendiri.

Pemberontakan demi pemberontakan terhadap Negara Pancasila dilakukan oleh kedua belah pihak, baik kelompok Islam maupun kelompok Komunis. Keduanya ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Islam dan atau ideologi Komunis. Atas nama ideologi, antar anak bangsa berperang saling membunuh demi supremasi ideologi dan politik masing-masing. Tanah Ibu Pertiwi bermandikan darah anaknya sendiri yang bertikai berebut kuasa.

Pemberontakan PKI di Madiun menelan korban tak kurang dari 1920 orang meninggal dunia. Di antaranya 17 tokoh yang menjadi korban keganasan PKI, dan diabadikan menjadi Monumen Kresek di Madiun.

Pemberontakan DI/TII menelan korban tak kurang dari 22 ribu orang meninggal dunia di Jawa Barat. Besarnya jumlah korban ini terungkap pada Persidangan Kartosoewirjo sebagai Panglima Besar DI/TII di Pulau Jawa.

Pemberontakan G 30/S PKI yang menelan korban 7 perwira tinggi militer. Antara lain: Letjen Ahmad Yani, Mayjen TNI Raden Suprapto, Mayjen TNI MT Haryono, Mayjen S Parman, Brigjen TNI DI Pandjaitan, dan Brigjen TNI Sotoyo Siswomiharjo.

Pembubaran PKI diikuti dengan penumpasan gembong-gembong PKI, penangkapan tokoh-tokoh PKI serta pengganyangan massa PKI. Peristiwa 1965-1966 ini menelan korban tak kurang dari 450 ribu sampai 500 ribu orang yang meninggal dunia.

Catatan hitam kelam perjalanan sejarah bangsa di atas, cukuplah menjadi pelajaran, jangan sekali-kali membuka kembali perang ideologi antar kelompok anak bangsa dan antar anak bangsa dengan negara. Negara Pancasila sudah final. Negara Islam dan atau Negara Komunis sudah menjadi mitos yang runtuh. Sistem demokrasi telah membuka kran bagi kelompok mana pun untuk memperjuangkan ideologinya masing-masing secara konstitusional dan institusional menjadi public policy.

Kata Cak Nur --Prof Dr Nurcholish Madjid MA, Pancasila merupakan "kalimatun sawa bainana wabainakum" (kalimat yang sama antara kami dan kalian), yang menjadi pedoman hidup berbangsa dan bernegara.
Akan tetapi, Pancasila juga merupakan ideologi terbuka yang berkarakter inklusif terhadap semua nilai, norma dan budaya yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Satu pihak, pergumulan Islam dan negara telah mendorong dialektika sejarah yang positif berupa deklarasi hubungan antara Pancasila dan Islam. NU telah berjasa besar mengakhiri perseteruhan ideologis antara keduanya pada Muktamar NU ke-27 1984 di Situbondo.

Di pihak lain, pergumulan Pancasila dan komunisme tak mengalami perkembangan dan kemajuan apa pun. Anak keturunan PKI masih menyimpan dendam dan tak mau berdamai dengan negara. Tuntutan agar negara harus minta maaf acapkali mengemuka.

Sejatinya, penguatan Pancasila masih di bawah bayang-bayang ancaman Islam dan Komunis. Anak ideologis yang ditinggalkannya masih marah pada pemerintah berkuasa dan kecewa pada keadaan yang ada.

Mereka memilih berhadapan secara diametral dengan pemerintah yang berkuasa. Mereka bukan hanya rajin mengkritik tapi menawarkan alternatif sistem Khilafah Islamiyah dan sistem neososialisme yang utopis dan sarat romantisme sejarah.

Padahal, mereka sangat tahu, alternatif sistem yang ditawarkannya di berbagai negara sudah ditinggalkan, lantaran tak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Turki Ottoman dan Uni Soviet contohnya.

Oleh karena itu, pembahasan RUU HIP harus semata-mata didasarkan pada urgensi penguatan Pancasila, sama sekali tidak membawa kepentingan terselubung, untuk membuat panggung bagi perang ideologi kembali. Semua harus menyadari bahwa cita-cita mendirikan negara Islam dan atau negara Komunis hanyalah mitos yang selalu gagal diwujudkan. Tapi negara Pancasila merupakan realitas yang diwariskan oleh pendiri bangsa, untuk dijaga dan dipelihara, dari dulu, kini dan nanti.

Penulis Pendiri Eksan Institute dan Ketua Bidang Agama dan Masyarakat Adat DPW Partai NasDem Jawa Timur

Bagikan:

Komentar