|
Menu Close Menu

Hari Santri Nasional, Identitas Politik Vs Politik Identitas

Jumat, 21 Oktober 2022 | 13.49 WIB




Oleh Jakfar Shodik*) 


Lensajatim.id, Opini- Keppres nomor 22 tahun 2015 menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai hari santri. Subkultur (baca-Pesantren) yang sejak masa Orde Lama belum mendapatkan haknya secara utuh, kini semakin berbanding lurus dengan perjuangan dan perannya dalam merebut serta mengisi kemerdekaan. Butuh puluhan tahun untuk mendapatkan pengakuan tersebut, tekanan politik orde baru, infiltrasi kebijakan, puluhan pemimpin silih berganti dalam berbagai level dan tantangan medan perjuangan. 


Tujuh tahun berselang, kaum santri bisa berdiri sama tinggi dengan seluruh elemen kebangsaan. Sangat jauh berbeda dengan apa yang pernah terjadi sebelum pengakuan tersebut dikeluarkan. Pengkerdilan terhadap santri dan perannya sangat nyata, misalnya kolot, kumuh, terbelakang, tidak berpendidikan dan pelabelan-pelabelan negatif lainnya sangat identik dan massif disuguhkan kehadapan publik.


Berada pada posisi-posisi strategis dalam menentukan kebijakan publik, adalah mimpi pada pra reformasi. Menjadi Kepala desa, Anggota DPR, Bupati, Gubernur, Wakil Presiden hingga Presiden adalah cita-cita semu. Tidak banyak santri yang berani berfikir bahwa posisi yang saat ini dirasakannya hanyalah soal waktu. Demikian pula pengakuan dalam wujud lembar Negara terhadap santri adalah hal yang mustahal.


Geliat santri dalam ruang publik terutama pasca reformasi, tidak bisa menghilangkan sosok dan ketokohan KH. Abdurrahman Wahid sebagai mata rantai posisi masyarakat santri saat ini. Diskursus, pemberdayaan-pendampingan komunitas marginal, kaum miskin kota, kelompok minoritas dan pesantren (NU) yang dipinggirkan selama Orde Baru berkuasa, adalah rutinitas serta urat nadi perjuangan Gus Dur. 


Dengan segala atribut yang disandangnya, Gus Dur menjadi lokomotif perubahan cara pandang dan gerakan kamu muda Nahdliyin. Lebih dari empat dekade bergelut dengan keyakinan dan nafas perjuangannya, bahwa Pesantren (baca-politik pesantren atau santri) dan kaum marginal lainnya harus diperjuangkan. Cara dan keyakinan inilah, menurut penulis dapat disebut dengan Identitas Politik.


Identitas Politik Vs Politik Identitas


Identitas Politik berbeda dengan Politik Identitas. Identitas Politik adalah refleksi-aksi atas persepsi orang atau kelompok lain terhadap kita. Ia bersumber dari perbedaan perilaku, keyakinan dan sikap atas definisi yang diberikan oleh kelompok lain atau seseorang dengan menghilangkan sisi kemanusiaan. Perbedaan-perbedaan itu bisa dari berbagai macam dan cara, misalnya gender, budaya, etnis, bahkan agama dan lain sebagainya (Larry A. Samovar, dkk, Communication Between Cultures, 2009).


Berbeda dengan Identitas Politik yang memupuk ruang inklusif, Politik Identitas hidup dengan ekslusifisme akut. Ia memberikan ruang lebih terhadap kepentingan kekuasaan dan mengkerdilkan kemanusiaan. Dengan berbagai macam isyu dan cara, ia bergelut dan memanfaatkan manusia serta kelompoknya semata-mata untuk kepentingan kekuasaan dan jabatan. 


Ambisi berkuasa dan rakusnya terhadap kursi jabatan adalah penyebab utama tumpulnya nalar kritis dan memudarnya nilai-nilai keadilan serta kemanusiaan. Ditambah kegagalan narasi arus utama dalam mengakomodir kepentingan minoritas, seperti pendapat Suherman dkk, dalam kajiannya “Identity Politic Cotestation in The Public Sphere: A Steep Road of Democracy in Indonesia”(2020) adalah fakta yang tidak bisa dielakkan. Sehingga Politik identitas hadir dan menjadi satu-satunya pilihan, kemudian dipakai oleh semua yang berkepentingan.


Dalam hal-hal tertentu Penulis sependapat dengan kesimpulan, puritanisme atau ortodoksi agama mempunyai peran yang signifikan dalam membuka kran politik indentitas yang selama ini terjadi. Akan tetapi perlu menjadi catatan bahwa, kegagalan atau kealpaan elit partai politik dan aktifis (santri) dalam memotret struktur masyarakat kita yang majemuk adalah fakta yang tidak bisa dibantah. Sehingga primordialisme-sektarianisme tumbuh berkembang dengan massif dan unpredictbel.


Saat ini kita disuguhkan oleh perbedaan (pilihan) yang tidak lagi menjadi fitrah, ia menjelma fitnah. Karena Politik identitas semata-mata memandang selain diri dan kelompoknya adalah tidak sama. Ia lupa kita pasti berbeda, tetapi ada persamaan bahasa. Tidak sama dalam bahasa?, ada kesamaan dalam agama. Berbeda dari sisi agama?, tetapi sama sebagai anak bangsa. Masih ragu terhadap sesama anak bangsa?, Diatas Politik ada sisi Manusia. Bukankah Gus Dur sudah mewariskan kata pusaka itu kepada kita?!.

Wallahu A’lam.


(* Penulis adah Pengurus Bapilu DPD Partai Demokrat Jawa Timur

Bagikan:

Komentar