|
Menu Close Menu

Pembatalan Vaksin Berbayar, Resistensi Massa dan Imunitas Antivirus

Sabtu, 17 Juli 2021 | 19.10 WIB



Oleh Moch Eksan


Bak judul lagu ciptaan A Riyanto yang dinyanyikan oleh Tetty Kadi, "Layu Sebelum Berkembang", sebagai gambaran nasib kebijakan vaksin berbayar. Presiden Joko Widodo melalui Sekretaris Kabinet, Pramono Anung membatalkan vaksin berbayar yang dikritik banyak pihak, baik dari kalangan kampus, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) maupun dari World Health Organization (WHO).


Intinya, mereka menolak vaksin berbayar berkait dengan hak tiap warga negara untuk mendapatkan akses terhadap vaksin gratis pemerintah. Bila ada vaksin berbayar, maka akan menimbulkan diskriminasi, ketidakadilan dan penyalanggunaan obat yang berpotensi korupsi.


Kebijakan ini, menurut istilah anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Nur Yasin, akan merusak nilai ketulusan untuk menggratiskan vaksin pada seluruh rakyat tanpa terkecuali. Sehingga seperti kata pepatah, "nila setitik rusak susu sebelanga'.


Kepala Unit Imunisasi WHO, Dr Aan Lindstrand, mengatakan bahwa vaksin berbayar menimbulkan masalah akses dan etika yang luar biasa. Sebab, Covax Facility kerjasama di bawah naungan WHO, memberikan jatah vaksin gratis pada negara yang membutuhkan. 


Lindstrand menyindir, bila Indonesia mengalami masalah anggaran, maka bisa mengakses Covax tersebut. Para penyandang dana Covax dapat mendanai vaksin hingga 20 persen populasi penduduk.


Dengan demikian, jelas sudah pembatalan vaksin berbayar berdimensi politis nasional maupun internasional. Bila kebijakan ini dipaksakan, maka pemerintah berkuasa akan lose face (kehilangan muka) di mata penduduk sendiri dan dunia. 


Negara seakan-akan tak berdaya menghadapi Pandemi Covid-19. Keuangan negara tak bisa membiayai belanja pengadaan vaksin gratis dan pelaksanaan program wajib vaksinasi bagi seluruh penduduk.


Bagi penduduk yang telah ditetapkan sebagai sasaran dan menolak mengikuti vaksinasi, diancam dengan sanksi administratif dan pidana sebagaimana ketentuan Pasal 13A dan 13B Peraturan Presiden Nomor 14/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99/2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019.


Jadi, vaksinasi satu sisi adalah hak warga negara namun sisi lain merupakan kewajiban untuk melindungi diri dari penularan Covid-19. Dasar regulasi ini yang memaksa kebijakan vaksin berbayar gugur demi hukum. Apalagi, program vaksinasi itu sendiri belum mendapatkan dukungan bulat dari masyarakat. 


Ada sekelompok orang yang menolak program vaksinasi. 

Ironisnya, mereka yang berpendidikan tinggi. Hasil Survey Balitbangkes Kemenkes RI pada April-Mei 2021, 67 persen responden yakin efektivitas vaksin dalam mencegah penularan Covid-19, dan 33 persen tidak atau belum meyakininya.


Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan, justru yang menolak adalah kelompok masyarakat yang berpendidikan D4 dan S1. Jumlah mereka mencapai 18,6 persen. Mereka korban berita hoax dan ragu terhadap kemampuan pemerintah mengatasi Pandemi Covid-19.


Di era hegemoni media sosial, informasi soal Covid-19 demikian melimpah ruah. banyak aktivis medsos yang tak bisa bedakan, mana informasi yang benar dan mana yang salah. Mereka tak punya cukup waktu dan kemampuan untuk melakukan cross check informasi. Ini berakibat mereka sangat rentan menjadi korban berita hoax dan hate speech (ujaran kebencian). Pemerintah dan rakyat akhirnya timbul distrust (ketidakpercayaan) satu sama lain.


Proses vaksinasi tak selalu berjalan mulus. Percepatan vaksinasi dihadang oleh ledakan kasus positif baru dan angka kematian yang tertinggi di dunia. Banyak yang kemudian mempertanyakan efikasi obat vaksin dalam membangun imunitas antivirus. 


Banyak yang gagal faham bahwa tak ada satu pun obat di dunia yang 100 persen manjur pada seluruh orang. WHO memberikan izin penggunaan darurat obat yang digunakan massal paling sedikit 50 persen tingkat kemanjuran.


Vaksin Sinovac misalnya, yang banyak digunakan di Indonesia, tingkat efikasi di atas standar WHO. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanannya (BPOM), Penny K Lukito, menyebutkan efikasi vaksin Sinovac sebesar 65,3 persen. Ini berarti, angka kekurang manjuran vaksin ini 34,7 persen. Sehingga, penduduk yang sudah divaksin tak otomatis imunitas antivirusnya efektif menangkal penularan Covid-19. 


Per 17 Juli 2021, jumlah yang sudah mendapatkan vaksin 1 sebanyak   40.228.811. Sedangkan yang vaksin 2 sebanyak 15.940.729 orang. Data program vaksinasi di atas, secara klinis, bisa diprediksikan pada 26.269.413 orang efikatif. Sementara itu, kepada 13.959.397 orang kurang efikatif. 


Dari angka tersebut dapat dipetani efektifitas vaksin Sinovac dalam membentuk antibodi penduduk. Salah besar, penduduk yang sudah vaksin menganggap dirinya sudah kebal atas serangan virus. Apalagi sampai mengabaikan protokol kesehatan. Potensi terpapar masih 34,7 persen dari 100 persen potensi terinfeksi sebelum mengikuti vaksinasi Covid-19.


Mengaca pada pada temuan Our World in Data, percepatan program vaksinasi di Uni Emirat Arab (38,8 persen), Bahrain (57,8 persen) dan Israel (59,7 persen) dari populasi penduduk yang ada. Namun tak berbanding lurus dengan penurunan angka kasus positif baru. Malah kasus baru semakin meningkat. Terutama setelah Varian Delta menyebar di 3 negara Timur Tengah tersebut. Untungnya, vaksinasi mengurangi potensi terpapar dan keparahan dalam penyembuhan dari Covid-19.


Nampaknya, Indonesia mengalami kasus yang mirip dengan 2 negara Islam dan 1 negara Yahudi di atas. Inggris negara yang paling sukses program vaksinasi dalam memutus mata rantai infeksi dengan kematian, juga mengalami hal yang sama. Ternyata, percepatan program vaksinasi berhubungan dengan peningkatan kasus positif baru. Mengapa begitu?


Pertama, program vaksinasi itu mengundang kerumunan di berbagai sentra vaksinasi. Interaksi sosial tak terelakkan dan pelanggaran prokes pun ikut menyertainya.


Kedua, sesusai mengikuti vaksinasinasi banyak orang salah kaprah dalam pergaulan antar sesama. Mereka lebih longgar dalam menerapkan prokes. Padahal, obat vaksin itu baru bekerja membentuk antibodi setelah 2 bulan kemudian.


Ketiga, obat vaksin itu hanya dapat mengurangi potensi terinfeksi dan juga hanya bisa mengurangi keparahan akibat Covid-19. Imunitas kolektif terbangun setelah 80 persen populasi mengikuti vaksinasi.


Yang tak kalah penting dari itu, mewaspadai orang yang mengalami efek samping dari vaksinasi. WHO mencatat efek samping vaksinasi Covid-19 antara lain: demam, kelelahan, sakit kepala, nyeri otot, menggigil, diare, nyeri di tempat suntikan. Mereka harus mendapatkan pemantauan dan pengawasan khusus, guna menghindari dampak fatal. Mereka juga kelompok rentan yang harus memperoleh ekstra penanganan dalam mencegah infeksi Covid-19.


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Bagikan:

Komentar