Puan Maharani saat bertemu dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). (Dok/Facebook AHY). |
Oleh Moch Eksan
Lensajatim.id, Opini- Ketua DPR Puan Maharani sedang menjadi episentrum dinamika politik nasional. Baru saja putri Presiden Megawati Soekarnoputri makan bubur bersama Agus Harimurti Yudhoyono di pelataran Stadion Gelora Bung Karno (GBK). Dan, Puan juga rencana berangkat haji bersamaan dengan Anies Rasyid Baswedan pada 22 Juni 2023.
Puan, AHY dan Anies adalah para politisi muda Indonesia. Dimana usia mereka tak terlalu terpaut jauh. Usia mereka terpaut antara 4 sampai dengan 9 tahun. Yang paling senior Anies yang lahir pada 1969. Dan yang paling yunior AHY yang lahir pada 1978. Dan usia yang berada di tengah-tengah, Puan yang lahir pada 1973.
Mereka bertiga adalah masa depan politik Indonesia. Yang sudah semestinya, mengakhiri miskomunikasi pribadi dengan pribadi dan pribadi dengan institusi. Hubungan dingin di antara mereka, semua berlatar kontestasi dalam pemilu.
Kekalahan Mega atas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam dua kali Pilpres, menimbulkan hubungan yang tak harmonis. Dan kekalahan koalisi PDIP terhadap Anies pada Pilkada DKI Jakarta 2017, juga memburukkan hubungan pribadi dengan keluarga besar Banteng.
Sudah saatnya, sisa kekecewaan dan kemarahan antara tiga poros besar politik Indonesia di atas, dikubur dalam-dalam demi politik jalan tengah Puan, politik rekonsiliatif AHY dan politik restoratif Anies. Bila mereka bisa duduk bersama membahas soal bangsa di atas kepentingan politik praktis Pemilu 2024, maka suhu politik Indonesia pasti akan mencair.
Bangsa ini membutuhkan kepastian Pemilu terlaksana dengan aman, damai sekaligus menggembirakan. Masing-masing elemen anak bangsa yang bertarung, harus bersepakat untuk menjaga keamanan dan kedamaian negeri ini. Semua mesti bertekad untuk menyajikan pertunjukan demokrasi yang beradab dan berperadaban sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Siapa pun yang menang dan mendapatkan mayoritas suara pemilih, dialah pemimpin bangsa yang berdiri di atas semua golongan. Sebab, kata John F Kennedy, my loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins (loyalitas saya kepada partai saya berakhir saat kesetiaan saya kepada negara saya dimulai).
Memang Puan, AHY dan Anies hanya menangii transisi politik dari rezim otoriter pada rezim demokratis. Mereka tak mengalami perang kemerdekaan, pemberontakan dan politik tentara yang berdarah-darah. Sehingga nyaris tak pernah menyaksikan perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan yang kental anyir darah di Republik ini.
Mereka bertiga mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan kehidupan yang lebih pula. Mereka berada di inner circle kekuasan sebagai putra-putri presiden dan atau menjadi pejabat negara. Mereka tahu persis negeri ini tak bisa diurus dengan hanya satu kelompok. Semua anak bangsa berhak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara, baik dalam pengertian visi, aksi maupun koreksi.
Puan dan AHY merupakan pucuk pimpinan partai yang berpengalaman sebagai the rulling party dan partai oposisi pemerintah. Sedangkan Anies juga berpengalaman di dalam koalisi pemerintah maupun menjadi gubernur yang dioposisi oleh pemerintah pusat. Posisi politik yang diametral antar ketiganya tak menjadi halangan untuk duduk bersama menurunkan tensi politik yang kian panas.
Di lain pihak, keputusan Joko Widodo cawe-cawe dalam Pilpres 2024, menimbulkan bias kepentingan. Ada yang menganggap wajar. Dan, ada juga yang menilai bahaya bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Apalagi rezim berkuasa ikut mengatur posisi dan memenangkan catur politik nasional.
Bagaimanapun negeri ini harus tetap waspada. Pemusatan kekuatan politik nasional di tangan Presiden Jokowi, dalam hitungan analis Asia-Pasifik Ben Bland, sampai mencapai 82 persen, sangat rawan disalahgunakan. Penggunaan aparatur negara untuk memenangkan kandidat tertentu pasti memancing protes dalam skala besar dari rakyat yang tak sejalan dengan pemerintah.
Apalagi, Ben Bland yang merupakan penulis "Man of Contradictions: Joko Widodo and The Struggle to Remake Indonesia", mengatakan Pilpres 2024 tak akan bakal mendapatkan kebijakan baru. Pemilu ini tentang pilihan sekelompok oligarkhi dan bos partai dalam mendukung dan mengusung calon tertentu.
Pilpres Indonesia, menurut penulis biografi politik Jokowi dalam bahasa asing pertama di atas, tak lebih dari semacam kontes popularitas yang diperpanjang. Selesai pemilu, berbagai kelompok yang bertarung akan membentuk koalisi besar demi keberlangsungan politik dan bisnis.
Kritik Indonesianis dari Lowy Institute terhadap praktek demokrasi Indonesia, mesti dijawab oleh Puan, AHY dan Anies. Bahwa Pilpres 2024 adalah benar-benar pesta rakyat yang melibatkan seluruh anak bangsa. Ini momentum rakyat memilih pemimpin yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi. Sehingga, siapa pun tak boleh menghalang-halangi rakyat menominasikan kandidat. Apalagi, ada kekuatan rezim yang berupaya menjegal pencalonan seseorang lantaran tak sejalan dengan pemerintah.
Pilpres bukan soal pilihan oligarkhi dan bos partai semata, tapi ini menyangkut kedaulatan rakyat menyatakan pendapat terhadap kepemimpinan nasional. Mereka ingin Pilpres tak hanya diikuti oleh lingkar istana tapi juga dari luar istana negara. Mereka ingin Pilpres diikuti oleh lebih dua pasangan calon. Mereka ingin Pilpres menjadi sarana kontes gagasan dalam the struggle to remake Indonesia pasca Jokowi.
Jadi, semangkok bubur Puan-AHY dan perjalanan haji Puan-Anies mengandung pesan simbolik bagi pra sampai pasca Pilpres. Yaitu, Pilpres menjadi bubur yang menambah nutrisi bagi metabolisme demokrasi yang sehat. Selain, Pilpres menjadi haji yang menyajikan perjalanan spiritual demokrasi membawa peningkatan peran global Indonesia. Semoga!!!
*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute
Komentar