|
Menu Close Menu

MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Ini Dampaknya bagi Daerah dan Parpol

Kamis, 26 Juni 2025 | 21.55 WIB

Gedung Mahkamah Konstitusi.(Dok/Istimewa). 

Lensajatim.id, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengabulkan permohonan terkait pemisahan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah. Melalui putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Kamis (26/6/2025), MK memerintahkan agar Pemilu Presiden (Pilpres), DPR RI, dan DPD diselenggarakan terpisah dari Pemilu DPRD dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).


Dalam putusannya, MK menetapkan bahwa pelaksanaan pemilu daerah dapat dilakukan paling cepat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan presiden dan/atau anggota DPR/DPD terpilih.


MK dalam pertimbangannya menilai bahwa penyatuan jadwal pemilu nasional dan daerah selama ini justru merugikan kualitas demokrasi lokal. Kampanye kepala daerah dan calon legislatif DPRD sering kali tenggelam di bawah bayang-bayang hiruk-pikuk Pilpres dan Pileg tingkat pusat.


“Dengan sistem saat ini, isu lokal kurang mendapat ruang, dan para calon kepala daerah kesulitan menyampaikan program yang menyentuh kebutuhan masyarakat daerah,” demikian disampaikan dalam amar putusan MK.


Selain itu, MK juga menyoroti beban kerja penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu, dan aparat keamanan yang semakin berat akibat tumpukan tahapan pemilu yang padat. Hal ini dikhawatirkan menurunkan kualitas teknis penyelenggaraan pemilu dan meningkatkan risiko kesalahan administratif.


MK juga mengungkapkan adanya kejenuhan pemilih ketika harus mencoblos terlalu banyak calon dalam satu hari, yang berdampak pada menurunnya partisipasi serta meningkatnya sikap pragmatis dalam politik praktis.


Pemisahan pemilu ini dipandang akan membawa dampak strategis, khususnya bagi pembangunan politik di daerah dan proses kaderisasi partai.


Pertama, calon kepala daerah dan anggota DPRD kini bisa lebih leluasa membangun komunikasi politik dengan masyarakat tanpa harus bersaing dengan dominasi isu nasional. Kampanye dapat lebih fokus pada program-program pembangunan daerah.


Kedua, partai politik memiliki waktu yang lebih panjang untuk melakukan kaderisasi dan menyaring calon yang mumpuni. Tidak ada lagi tekanan waktu yang memaksa partai mengusung figur hanya karena popularitas atau kemampuan finansial.


Ketiga, pemisahan waktu juga memberikan ruang bagi penyelenggara pemilu untuk mempersiapkan diri secara lebih matang, meningkatkan efisiensi, serta memperkuat pengawasan di setiap tahapan.


Menanggapi putusan ini, Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menyampaikan bahwa pemisahan pemilu akan menjadi fokus dalam revisi Undang-Undang Pemilu yang sedang dibahas. Salah satu tantangan utama adalah mengatur masa transisi, termasuk masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD yang saat ini menjabat hingga 2029.


“Perlu ada mekanisme yang jelas, apakah diperpanjang masa jabatannya atau diisi oleh penjabat. Ini harus dibahas secara serius dalam revisi UU Pemilu,” ujarnya.


Putusan MK ini merupakan langkah besar dalam penguatan demokrasi daerah. Dengan pemisahan pemilu, daerah memiliki ruang untuk membangun narasi politiknya sendiri tanpa terdistraksi oleh dinamika nasional.


Namun, implementasi pemisahan ini tidak bisa berjalan tanpa kesiapan regulasi, infrastruktur penyelenggara, dan edukasi pemilih. Pemerintah, DPR, KPU, dan seluruh pemangku kepentingan harus bergerak cepat menyesuaikan aturan serta memastikan bahwa pemilu ke depan lebih partisipatif, transparan, dan bermartabat—baik di tingkat nasional maupun daerah.


Sebagai provinsi dengan basis politik dan kepemimpinan lokal yang kuat, Jawa Timur diharapkan dapat menjadi contoh sukses pelaksanaan pemilu yang lebih berkualitas pasca pemisahan ini. (Rus) 

Bagikan:

Komentar