|
Menu Close Menu

Menagih "Etika Kepedulian" dalam Kebijakan Publik Setiap Penghujung Desember

Selasa, 30 Desember 2025 | 12.50 WIB


Oleh: M. Abrori Riki Wahyudi

( Penulis adalah Wakil Sekretaris PC GP Ansor Kota Yogyakarta) 

Lensajatim.id, Opini- Apakah kita sebagai bangsa yang rawan bencana, benar-benar siap menghadapi ancaman alam berikutnya?. Begitu murung bukan? melihat saudara-saudara kita di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh yang kehilangan kelurga dan tempat tinggalanya. Data BNPB mencatat 1.140 orang meninggal, 163 orang masih hilang, dan 489,6 ribu warga lainnya masih mengungsi akibat bencana banjir dan longsor


Paradoks Desember ini secara sosiologis sering kali dikonstruksikan sebagai bulan "titik balik", sebuah periode transisi yang diwarnai dengan euforia pergantian tahun dan perayaan keagamaan. Namun, Desember kali ini menampilkan anomali yang kontradiktif. Di balik gemerlap lampu kota, terselip catatan duka yang repetitif, mulai dari bencana hidrometeorologi hingga krisis kemanusiaan. Fenomena ini menuntut diskursus kritis: apakah duka Desember adalah murni faktor alamiah (unavoidable) ataukah representasi dari kegagalan sistemik dalam tata kelola kebijakan publik?.


Desember merupakan puncak siklus monsun yang memicu curah hujan ekstrem. Namun, transformasi bencana alam menjadi bencana kemanusiaan sering kali disebabkan oleh kegagalan dalam kebijakan tata ruang. Data menunjukkan bahwa banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di penghujung tahun bukan sekadar akibat hujan, melainkan dampak dari degradasi daerah aliran sungai (DAS) dan konversi lahan yang tidak terkendali.


Banjir bandang yang membawa material gelondongan kayu (log). Fenomena ini bukan sekadar bencana alamiah, melainkan manifestasi dari kegagalan tata kelola hutan dan pengawasan ruang yang lemah. Catatan duka ini seharusnya menjadi titik balik bagi pemegang kebijakan untuk mengevaluasi dampak penggundulan hutan secara masif terhadap resiliensi ekosistem nasional.


Kebijakan lingkungan saat ini diuji untuk melampaui sekadar retorika administratif. Pemegang kebijakan harus menyadari bahwa pemberian izin konversi lahan yang tidak mengindahkan analisis dampak lingkungan (AMDAL) secara rigid adalah investasi bencana jangka panjang. Penegakan hukum terhadap illegal logging dan pembenahan tata kelola industri kehutanan harus menjadi prioritas absolut. Pemerintah tidak bisa lagi menggunakan argumen "curah hujan ekstrem" sebagai satu-satunya kambing hitam, sementara pengawasan terhadap penggundulan hutan di zona resapan air terabaikan.


Dalam kacamata kebijakan, hal ini menunjukkan adanya _disjuncture_ antara regulasi lingkungan dan praktik pembangunan di lapangan. Pemerintah sering kali terjebak dalam paradigma responsif bertindak setelah bencana terjadi daripada preventif. Evaluasi terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus dilakukan secara radikal. Jika kebijakan spasial terus mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, maka catatan duka Desember akan terus menjadi siklus tahunan yang statis.


Tidak hanya perihal bencana, ketimpangan ekonomi dan tekanan inflasi musiman juga memicu anomali harga komoditas pangan. Fenomena demand-pull inflation saat hari raya sering kali menempatkan masyarakat rentan pada posisi yang sulit. Bagi mereka, Desember bukan tentang liburan, melainkan tentang perjuangan bertahan hidup di tengah harga pokok yang melambung.


Di sini, peran pemerintah dalam menjaga stabilitas rantai pasok diuji. Kegagalan dalam mengendalikan spekulasi pasar menunjukkan bahwa instrumen kebijakan ekonomi makro terkadang belum mampu menjangkau mikro ekonomi di tingkat rumah tangga paling bawah. Refleksi ini seharusnya mendorong pemerintah untuk memperkuat jaring pengaman sosial yang lebih adaptif terhadap fluktuasi musiman.


Selanjutnya, Desember yang penuh duka dapat memicu penurunan public trust jika tidak dikelola dengan komunikasi empati. Sering kali, terdapat kesenjangan komunikasi antara pemerintah dan rakyat. Di saat rakyat berjuang melawan dampak bencana, narasi pemerintah yang terlalu fokus pada laporan capaian kerja akhir tahun (akuntabilitas formal) terasa hambar dan tidak menyentuh realitas penderitaan masyarakat.


Kebijakan publik yang baik harus mengandung aspek "etika kepedulian" (ethics of care). Pemegang kebijakan perlu menyadari bahwa statistik korban bukanlah sekadar angka, melainkan nyawa yang memiliki hak atas perlindungan negara.


Memutus rantai duka yang selalu menghantui setiap Desember sebenarnya dimulai dari kemauan kita untuk mengubah cara pandang. Sudah saatnya pemerintah berhenti hanya menjadi "pemadam kebakaran" yang sibuk saat api sudah berkobar. Kita perlu bergeser dari sekadar mengelola krisis saat kejadian menjadi mengelola risiko jauh sebelum bencana menyapa. 


Langkah ini tentu harus dibarengi dengan aksi nyata di lapangan melalui audit infrastruktur secara besar-besaran. Sebelum kalender memasuki bulan Desember, setiap jembatan, bendungan, dan tanggul di daerah rawan harus dipastikan dalam kondisi stabil dan prima. Hal ini mustahil terwujud tanpa keberanian untuk merombak kebijakan anggaran. Dana negara jangan hanya dikuras habis untuk urusan pemulihan pasca-bencana yang mahal, melainkan dialokasikan lebih besar untuk pencegahan dan edukasi warga. Masyarakat yang cerdas literasi bencana adalah benteng pertama yang paling tangguh dalam meminimalkan korban jiwa.


Namun, semua itu akan sia-sia jika birokrasi kita masih bekerja dalam sekat-sekat yang kaku. Sering kali, bantuan terlambat sampai atau peringatan dini terabaikan hanya karena koordinasi antara pusat dan daerah yang macet. Harmonisasi birokrasi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan agar negara benar-benar hadir dalam satu komando yang saat situasi darurat menghimpit. Tanpa kerja sama yang cair, duka Desember akan terus menjadi cerita lama yang diputar berulang-ulang tanpa akhir yang berbeda.


Pada akhirnya, kita harus berhenti menganggap Desember yang muram sebagai takdir tahunan yang tidak bisa diubah. Catatan duka ini adalah alarm keras sekaligus mandat moral bagi pemerintah untuk menambal setiap celah kebijakan yang bocor. Kehebatan sebuah negara tidak boleh hanya diukur dari angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi atau megahnya gedung pencakar langit. Keberhasilan sejati seorang pemimpin terlihat dari seberapa mampu ia menjaga agar air mata rakyatnya tidak jatuh saat alam sedang tidak bersahabat. Mari jadikan refleksi ini sebagai pijakan untuk membangun Indonesia yang lebih aman dan lebih manusiawi di tahun-tahun mendatang.

Bagikan:

Komentar