|
Menu Close Menu

PBH Jatim Tegaskan BPJS Hak Mutlak Pekerja, Perusahaan Abai Sanksi Berat

Minggu, 07 Desember 2025 | 15.12 WIB

Direktur Pusat Bantuan Hukum (PBH) Jawa Timur, Nadianto, SH., MH.,. (Dok/Istimewa). 
Lensajatim.id, Sumenep-Direktur Pusat Bantuan Hukum (PBH) Jawa Timur, Nadianto, SH., MH., menegaskan bahwa kepesertaan BPJS bagi karyawan merupakan kewajiban mutlak perusahaan, bukan sekadar pilihan. Hal itu tertuang jelas dalam regulasi ketenagakerjaan yang diperkuat melalui Undang-Undang Cipta Kerja.


“Kalau merujuk pada aturan yang berlaku, setiap perusahaan wajib mendaftarkan karyawannya dalam program BPJS. Ini adalah hak pekerja yang tidak boleh diabaikan,” tegas Nadianto, Minggu (07/12/2025).


Ia menjelaskan, setidaknya terdapat lima program perlindungan yang wajib diberikan kepada tenaga kerja melalui BPJS Ketenagakerjaan, yakni Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Pensiun (JP), serta Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).


Menurutnya, apabila perusahaan terbukti tidak mendaftarkan karyawan yang telah memenuhi syarat sebagai peserta BPJS, maka perusahaan tersebut dapat dikenai sanksi tegas. Mulai dari teguran administratif, pencabutan izin usaha, hingga ancaman pidana.


“Ini bukan perkara sepele. Ada iuran yang seharusnya dibayarkan ke BPJS tapi tidak disalurkan. Itu jelas pelanggaran hukum,” ujarnya.


Nadianto menegaskan, pihak yang paling dirugikan dalam praktik pengabaian ini adalah para pekerja. Tanpa perlindungan BPJS, hak dasar tenaga kerja atas jaminan sosial menjadi hilang, terutama saat mengalami kecelakaan kerja, kehilangan pekerjaan, atau memasuki masa pensiun.


“BPJS adalah hak karyawan. Kalau tidak ada BPJS, yang rugi jelas pekerja. Karena itu, persoalan ini harus ditertibkan secara serius oleh Dinas Ketenagakerjaan. Ini menyangkut hajat hidup para buruh dan pekerja,” pungkasnya.


mengejutkan  BMT NUansa Jawa Timur setelah terbongkar fakta baru, sekitar 140 pegawai di 9 cabang swalayan BMT NU Jatim hingga detik ini tidak memiliki BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan.


Temuan ini bukan sekadar dugaan. Kesaksian mantan pegawai menyebut praktik pembiaran ini berlangsung systemic dan bertahun-tahun, melibatkan ratusan karyawan aktif yang tetap bekerja tanpa perlindungan negara terhadap kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja, sakit, hingga ancaman biaya rumah sakit yang bisa melumpuhkan ekonomi keluarga.


“Bukan satu dua orang. Banyak yang bertahun-tahun kerja tanpa BPJS apa pun,” ujar salah satu mantan pekerja yang menjadi sumber awal mencuatnya skandal ini.


Alih-alih membantah, Direktur Utama BMT NU Jatim, Masyudi Kanzillah, justru menegaskan bahwa BPJS hanya diberikan kepada pegawai yang telah berstatus karyawan tetap berdasarkan penilaian KPI, bukan masa kerja.


"Alhamdulillah sudah diikutkan BPJS... khusus karyawan tetap. Itu ditentukan bukan berdasar masa kerja, tapi KPI," ujarnya.


Pernyataan ini sontak menjadi sorotan publik karena menunjukkan sistem seleksi internal yang bertolak belakang dengan aturan negara, yang mewajibkan seluruh pekerja  tetap, kontrak, harian, magang, atau paruh waktu harus terdaftar BPJS sejak hari pertama kontrak.


Lebih ganjil lagi, manajemen tidak mampu menyebut berapa dari total 1.032 karyawan BMT NU Jatim yang benar-benar terdaftar BPJS. Ketidaktransparanan ini memicu dugaan bahwa jumlahnya jauh di bawah yang seharusnya.


BMT NU Jatim sendiri selama ini mengklaim memiliki omzet Rp1,3 triliun serta jaringan besar berjumlah 107 kantor cabang. Dengan skala sebesar itu, pembiaran terhadap 140 pegawai swalayan tanpa BPJS dianggap sebagai anomali dan bentuk pengabaian hak normatif paling dasar.


“Sulit diterima akal. Perusahaan dengan omzet triliunan tidak mampu memenuhi kewajiban BPJS pegawainya?” kritik seorang pemerhati ketenagakerjaan di Madura.


Menanggapi temuan ini, Kepala Disnaker Sumenep Heru Santoso mengingatkan bahwa tidak ada celah interpretasi dalam regulasi BPJS.


“Bicara wajib ya wajib. Perusahaan wajib mendaftarkan karyawan ke BPJS sejak hari pertama kontrak. Tidak ada batas masa kerja,” tegas Heru.


Namun ia juga mengungkapkan kelemahan struktural: Disnaker Kabupaten tidak dapat melakukan penindakan. "Kewenangan sepenuhnya berada pada Disnaker Provinsi Jawa Timur".


“Peran kami hanya pembinaan dan sosialisasi,” ujarnya.


Pernyataan ini menegaskan bahwa selama provinsi tidak turun tangan, perusahaan besar seperti BMT NU Jatim dapat terus beroperasi sembari mengabaikan kewajiban dasar terhadap pegawai.


Kasus ketidakdaftaran BPJS ini memperpanjang daftar masalah kesejahteraan pegawai di lingkungan BMT NU Jatim yang sebelumnya telah diterpa isu pemotongan gaji, eksodus massal, dan minimnya transparansi sistem kerja.


Kini, publik menantikan, apakah Pemprov Jawa Timur akan turun tangan, apakah OJK atau Kemenaker membuka investigasi, dan apakah manajemen BMT NU Jatim akan berani mempublikasi data lengkap jumlah pegawai yang sebenarnya terdaftar BPJS.


Yang jelas, fakta kurang lebih 140 pegawai swalayan bekerja setiap hari tanpa perlindungan jaminan sosial adalah tamparan keras bagi perusahaan yang mengusung nama “NUansa” dan membawa identitas kelembagaan yang semestinya menjunjung tinggi kesejahteraan pekerja. (Yud) 

Bagikan:

Komentar