|
Menu Close Menu

Waspadai Potensi Konflik, Akademisi Ingatkan Pemerintah Lebih Selektif Beri Izin Ormas Berbasis SARA

Selasa, 30 Desember 2025 | 15.20 WIB

Erfandi, Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA).(Dok/Istimewa). 
Lensajatim.id, Jakarta — Pemerintah diminta lebih berhati-hati dan selektif dalam memberikan izin pendirian organisasi kemasyarakatan (ormas), khususnya yang menggunakan nama atau identitas berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Langkah ini dinilai penting untuk menjaga persatuan nasional serta mencegah potensi konflik sosial di tengah masyarakat yang majemuk.


Praktisi hukum sekaligus akademisi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Erfandi, menegaskan bahwa meskipun Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan tidak secara eksplisit melarang penamaan ormas berbasis suku tertentu, pemerintah tetap perlu mempertimbangkan dampak sosial yang lebih luas.


“Seyogianya dalam pemberian nama dan izin pendirian ormas menghindari penggunaan nama yang berasal dari suku tertentu. Penamaan semacam itu berpotensi merugikan kepentingan umum yang lebih besar,” ujar Erfandi, Selasa (30/12/2025).


Wakil Dekan Fakultas Hukum UNUSIA tersebut menilai, kehati-hatian ini penting untuk menjaga ketertiban umum sekaligus menghormati keberagaman suku, agama, dan ras yang hidup berdampingan di Indonesia. Menurutnya, pemberian izin terhadap organisasi yang menggunakan identitas SARA perlu dievaluasi secara mendalam agar tidak menimbulkan tafsir eksklusif maupun diskriminatif.


Alumni Universitas Trunojoyo Madura (UTM) itu menambahkan, di era digital saat ini, nama-nama yang identik dengan SARA sangat mudah dipolitisasi dan dijadikan pemicu konflik sosial. Oleh karena itu, evaluasi dan kajian komprehensif perlu dilakukan agar ormas tidak menggunakan identitas yang berpotensi memecah belah persatuan bangsa.


“Langkah ini penting agar suku atau agama tertentu tidak mudah dijadikan bahan bakar untuk diadu domba dengan kelompok lain. Ini harus menjadi perhatian semua pihak demi memperkuat persatuan Indonesia,” tegas mantan Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) tersebut.


Terkait kasus pengrusakan rumah seorang nenek di Surabaya yang belakangan menjadi sorotan publik, Erfandi menegaskan bahwa penanganan sepenuhnya merupakan kewenangan aparat penegak hukum. Ia meminta kepolisian bertindak cepat, tegas, dan profesional terhadap para pelaku maupun pihak yang diduga menyuruh melakukan tindak pidana tersebut. 


“Semua orang sama di depan hukum. Proses hukum harus dilakukan secara objektif dan transparan tanpa mengaitkan peristiwa pidana dengan suku atau kelompok tertentu, karena hal itu justru merugikan kepentingan banyak orang,” pungkasnya. (Had) 

Bagikan:

Komentar