|
Menu Close Menu

Vaksin, Imunitas dan Kesehatan Masyarakat

Rabu, 13 Januari 2021 | 17.19 WIB

 


Oleh : Moch Eksan


Banyak profil, dan status di sosmed berisi meme  dukungan terhadap program vaksinasi corono dan kesedian yang bersangkutan divaksin. Mengingat, ada yang sengaja melakukan kampanye hitam terhadap program vaksinasi. Program ini dinilai tak aman dan beresiko membahayakan kesehatan, dengan mengungkap beberapa kasus kegagalan program vaksinasi yang lain.


Sebut saja dr Ribka Tjiptaning, Anggota Komisi IX dari Fraksi PDIP di forum rapat kerja, dengan terang-terangan menolak program vaksinisasi, lantaran belum melalui uji klinis. Selain, ia mengungkapkan kegagalan program vaksinisasi polio dan kaki gajah di beberapa daerah. Seperti di Sukabumi, ada yang divaksin antipolio, justru mengalami lumpuh layu. Di Majalaya, 12 mati setelah divaksin antikaki gajah. 


Politisi senior PDIP tersebut, menolak divaksin beserta keluarganya. Ia lebih memilih membayar denda 5 juta pada Pemprov DKI Jakarta, daripada dipaksa divaksin. Kendati ia harus menjual mobil sekalipun. Negara memang tak bisa memaksa siapapun, sebab vaksin itu hak. Bila memaksa, berarti melanggar hak asasi manusia (HAM).


Sebuah ironi, anggota DPR dari partai pendukung pemerintah menolak program pemerintah secara terbuka, dan partai pun tak kuasa untuk mengingatkannya. Bisa dimaklumi, posisi Tjiptaning di partai demikian penting dan strategis serta simpul tokoh dari massa eks-komunis Indonesia sebagai salah satu lumbung suara partai.


Padahal, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Dr Ir Penny K Lukito, telah mengumumkan hasil uji klinis vaksin Sinovac yang memiliki efikasi atau kemanjuran mencapai 65,3 persen. Penny telah mengeluarkan izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) untuk program vaksinasi massal guna mengatasi Pandemi Covid-19.


Hasil uji klinis di Brazil dan Turki malah efikasinya lebih besar dari Indonesia, antara 78 persen sampai 91,25 persen. Ini sudah melampaui standar kelayakan minimal, dimana efikasi terendah sebesar 50 persen dari World Health Organization (WHO), yang dapat diproduksi dan digunakan massal.


Disamping itu, Majlis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan sertifikasi halal pada Vaksin Sinovac. Sebab, bahannya dari sesuatu yang suci dan halal. Penggunaan vaksin ini boleh digunakan untuk umat Islam Indonesia, untuk menjaga diri dari wabah, yang menurut Qasthalani dalam Irsyadus Sari hukumnya wajib.


Jadi, penolakan terbuka untuk divaksin, menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran virus corono yang berlangsung lebih 1 tahun. Apabila tidak percaya pada pemerintah, lantas warga bangsa harus percaya kepada siapa dalam penanganan Pandemi Covid-19 dan cara mengatasinya?


Sikap Tjiptaning di atas merupakan sikap subordinasi yang mengancam stabilitas sistem kesehatan nasional, meski secara individu sebagai anggota DPR punya hak imunitas yang tak bisa dipersalahkan atas pernyataannya secara hukum. Akan tetapi, pernyataan tersebut menyesatkan dan merugikan program pemerintah dalam mengatasi pandemi ini.


Argumentasi penolakannya divaksin sarat dengan argumintum ad hominem. Sebuah alasan penolakan dengan menyerang pribadi Ir Budi Gunadi Sadikin, CHFC, CLU, sebagai Menteri Kesehatan yang bukan berlatar ilmu kedokteran, sehingga menyangsikan efikasi dan efektifitas program vaksinasi massal ini. Semua pasti tahu, tak ada satu pun vaksin yang 100 persen manjur, serta berhasil meningkatkan imunitas dan derajat kesehatan masyarakat secara langsung.


Imunitas itu mahapenting  untuk mengeradikasi infeksi virus dan penyakit menular. Sebab, imunitas merupakan kekebalan tubuh yang menangkis serangan virus dari luar hingga beresiko kecil terpapar virus meski bergaul dengan orang yang mengidap virus mematikan tersebut. Imunitas itu antibody dalam tubuh yang menghalau setiap serangan virus yang masuk dari berbagai lubang dalam tubuh.


Vaksinasi merupakan salah satu instrumen pembentukan sistem kekebalan tubuh. Namun bukan satu-satunya, makan makanan nutrisi yang cukup, disiplin 3M (Masker, Mencuci tangan dan Menjaga jarak), serta rutin olah raga, juga merupakan bagian puzzle yang integral dengan pembentukan sistem kekebalan tubuh. Dengan imunitas yang baik dari warga bangsa, maka pemerintah optimis Indonesia kembali hidup normal dalam mengisi kemerdekaan dengan program pembangunan segala bidang. Termasuk di dalamnya, pembangunan kesehatan.


Pembanguanan kesehatan merupakan urusan wajib yang bersifat konkuren antar berbagai jenjang pemerintahan. Pembangunan ini bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Namun bersamaan dengan perjalanan waktu, meski politik kebijakan dan politik anggaran kesehatan sudah 10 persen lebih dari total anggaran, namun kurang efektif untuk mengurangi angka kesakitan masyarakat secara signifikan. 


Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, angka kesakitan masyarakat pada 5 tahun terakhir, naik turun. Semenjak 2015 ialah 16,14 persen, pada 2016 turun 15,18 persen, 2017 turun lagi 14,13 persen, pada 2018 lagi-lagi turun 13,91 persen, dan baru melonjak lagi pada 2019 mencapai 15,38 persen.


Pada 2020 ini, sudah bisa dipastikan, angka kesakitan masyarakat meningkat tajam. Pandemi ini merupakan krisis kesehatan akibat wabah penyakit yang mendunia. Kendati, recovery rate (tingkat kesembuhan) semakin membaik 82 persen lebih dari kasus yang sudah menyentuh angka 847 ribu di seluruh Indonesia. Dengan rincian, 696 ribu sembuh dan 24.645 meninggal.


Jamak di seluruh belahan dunia, Pandemi Covid-19 bukan sekadar krisis kesehatan, akan tetapi juga krisis ekonomi dan sosial. Bahkan 2 krisis yang disebut terakhir lebih banyak menguras anggaran negara, sehingga penanganan virus corono ini menelan Rp 800 triliun pada 2020 ini. Semua tenaga, fikiran dan dana dicurahkan untuk mengeluarkan warga bangsa dari bencana kesehatan multidimensional ini. Kita yakin, Indonesia sehat, Indonesia kuat, Indonesia hebat. Semoga!


Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute

Bagikan:

Komentar