|
Menu Close Menu

Aqiqah, Infertilitas dan Pengendalian Penduduk

Rabu, 31 Maret 2021 | 11.14 WIB



Oleh Moch Eksan


Seorang yunior di HMI Komisariat Sunan Ampel, Dinda Abd Muis, mengundang saya pada Walimatul Aqiqah putra ketiganya, Hibra Sahreza. Saya didapuk untuk menyampaikan hikmah walimatul aqiqah pada acara tersebut.


Aqiqah adalah sunnah muakkad yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW semenjak 15 abad lalu. Keluarga muslim di seluruh belahan dunia meneladaninya sebagai ungkapan rasa syukur. Sebab faktanya, tak semua keluarga dikaruniai keturunan, dan tak sedikit ibu dan bayi lahir yang meninggal dalam proses persalinan.


Reproduksi merupakan mekanisme regenerasi yang menjamin keberlangsungan hidup manusia. Bagi seorang ibu, reproduksi adalah tugas kemanusiaan. Apapun resikonya ditanggung oleh seorang istri demi mempersembahkan  anak semata wayang bagi sang suami, hatta nyawa sekalipun.


Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, saat ini angka kematian ibu dan bayi di Indonesia masih cukup tinggi.


Berdasarkan Sensus 2015, ada 305 kematian ibu melahirkan per 100.000, dan kematian bayi 24 per 1.000 setiap kelahiran hidup (KH). Idealnya, jumlah angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (ABI) dari tahun ke tahun terus menurun.


Data di atas, semakin meyakinkan bahwa keluarga yang berketurunan merupakan keluarga pilihan yang diamanahi seorang anak demi masa depan peradaban manusia yang universal. Aqiqah membebaskan anak manusia dari ketergadaiaan spiritual. Syariah menyembelih 2 ekor kambing bagi anak laki, dan 1 ekor kambing bagi anak perempuan, merupakan hewan tebusan.


Anak yang sudah diaqiqahi adalah anak merdeka dari belenggu hewaniah. Yang bila salah asuh, derajat anak bisa lebih rendah dari binatang sekalipun. Mereka yang disinyalir dalam QS Al A’raf/7:179.


Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.


Sehubungan dengan ungkapan syukur di atas, kelahiran anak yang selamat, pertanda pasangan keluarga tersebut adalah pasangan yang "subur". Sebuah keluarga yang diselamatkan dari problem infertilitas. Menurut ilmu urologi, kemandulan ini bukan semata kondisi perempuan mandul, akan tetapi 50 persen lebih disebabkan oleh pria. Bisa karenakan kelainan dan bisa pula tanpa sebab yang jelas. Lagi-lagi, anak merupakan anugerah tak ternilai bagi para keluarga.


Sigit Solichin, ahli ilmu urologi Rumah Sakit Bunda Menteng Jakarta, menyatakan bahwa di dunia ini, 15 persen keluarga menderita kasus infertilitas. Ini berarti hanya 85 persen keluarga berpotensi beranak-pinak demi kelanjutan hidup umat manusia. Kembali lagi, anak adalah titipan yang paling berharga dari Dzat Yang Tak Beranak dan Tidak Diperanakkan.


Sayangnya, tak jarang manusia yang menyia-nyiakan pemberian Tuhan. Maraknya kasus aborsi, pembuangan bayi, anak terlantar, kasus kekerasan terhadap anak, adalah bukti banyak manusia lalai. Bahwa anak adalah amanah Ilahi yang harus dijaga, dipelihara, dibesarkan, dididik menjadi generasi unggul. Tanpa itu, pertambahan jumlah penduduk justru menjadi beban negara.


Hasil Sensus Penduduk 2020 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, penduduk Indonesia meningkat dari  237,63 juta jiwa pada 2010 menjadi 270,2 juta jiwa pada 2020. Ada kenaikkan 32,57 juta jiwa. Ini berarti pula, rerata kenaikan jumlah pendududk per tahun sebesar 1,25 persen.


Data BPS di atas, bila dijabarkan lebih dalam, Indonesia mengalami kenaikan jumlah penduduk per tahun 3,25 juta jiwa. Per bulan 271 ribu jiwa. Per hari 9 ribu jiwa. Sementara per jam 376 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk ini mengharuskan pemerintah mengendalikan jumlah tersebut, bila tidak dan salah urus, jumlah penduduk yang besar bisa menjadi bom waktu yang menghancurkan Indonesia itu sendiri.


Jadi, walimatul aqiqah sejatinya bukan sekadar ungkapan rasa syukur, akan tetapi momentum yang sangat penting bagi pemerintah dan keluarga muslim untuk menerapkan konsep keluarga berencana. Bersama dengan para tokoh agama, untuk mengkampanyekan 2 anak cukup, sangat tepat dan pas. Sebab dengan demikian, memberi kesempatan yang baik pada pemerintah membangun infrastruktur yang cukup dan memadai, sembari mengendalikan jumah penduduk dengan baik. Semoga!


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute

Bagikan:

Komentar