|
Menu Close Menu

Christina dan Urgensi Revisi UU Keperawatan

Sabtu, 17 April 2021 | 18.23 WIB





Oleh Moch Eksan


Adalah Christina Ramauli namanya. Seorang perawat berusia 28 tahun yang bekerja di Rumah Sakit (RS) Siloam Sriwijaya Palembang. Namanya mendadak viral lantaran kasus kekerasan yang dialaminya. Korban mengalami memar di mata, bibir, serta sakit di perut, akibat ayah pasien main pukul.


Kendati Christina sudah memenuhi pemintaan sang ayah pasien untuk meminta maaf dengan bersujud, perawat malang itu tetap menanggung kekerasan fisik. Sang ayah pasien meluapkan emosinya karena infus yang dicabut mengeluarkan darah. Beruntung, aksi brutal tersebut dapat dihentikan, dan korban tak sampai mengalami dampak fatal.


Kasus kekerasan terhadap perawat RS Siloam tersebut sudah ditangani oleh Polrestabes Palembang untuk diproses secara hukum. Sementara, di media sosial video kekerasan tersebut menjadi tranding #SavePerawatIndonesia. Tak kurang, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), menyiarkan pernyataan pers berisi kecaman keras dan meminta pelaku dihukum seberat-beratnya.


Kasus kekerasan terhadap perawat itu bagaikan puncak gunung es. Kasus yang nampak sedikit, padahal kejadiannya banyak. Banyak kasus yang tak terekspos, dan milih diselesaikan secara damai dan kekeluargaan. Hasil penelitian Michelle Christlevica di RS Advent Bandung 2016 menunjukkan bahwa 2 dari 6 perawat yang mengalami kekerasan verbal maupun fisik berdampak secara fisiologi dan sosial.


Perawat merupakan profesi yang berisko mengalami kekerasan yang tinggi. Mengingat, posisi perawat sebagai garda terdepan daripada tenaga kesehatan lain dalam memberikan pelayanan kesehatan pertama di klinik, puskesmas maupun RS.


International Comittee of the Red Cross (ICRC) atau Komite Palang Merah Internasional mencatat pada 2020, selama Pandemi Covid-19, terdapat 611 kasus kekerasan terhadap tenaga kesehatan. Salah satu kasus yang ekstrim antara lain:


Pertama, di Afghanistan, pusat isolasi utama Covid-19 selama setengah hari ditutup akibat konflik fisik antara kerabat pasien yang meninggal dengan tenaga kesehatan.


Kedua, di Bangladesh, rumah seorang dokter dilempari batu bata setelah dinyatakan positif Covid-19. Ini dilakukan sebagai upaya untuk memaksa dokter dan keluarganya pergi dari daerah tersebut.


Ketiga, di Republik Afrika Tengah, kerabat orang yang meninggal melakukan kekerasan fisik kepada tenaga kesehatan karena frustrasi ketika mereka tidak dapat mengambil jenazah akibat pembatasan Covid-19.


Keempat, Kolombia, penduduk menghalangi ambulan masuk ke kota mereka untuk melakukan screening kasus Covid-19 dan melakukan kajian grafik medis yang bersifat konfidensial serta nama-nama staf dan pasien.


Kelima, di Pakistan, dokter-dokter di sebuah rumah sakit diserang secara lisan dan fisik setelah seorang pasien meninggal karena Covid-19. Kerabatnya memasuki area berisiko tinggi sambil berteriak-teriak bahwa virus Corona adalah hoax.


Keenam, di Filipina, seorang tenaga kesehatan dan anak-anaknya dipaksa meninggalkan rumah setelah dilecehkan, didiskriminasi, dan listriknya diputus oleh tetangganya sendiri.


Di medio Maret 2017, di Tel Aviv, Ibu Kota Israel, ada seorang perawat tewas.Tova Kararo namanya. Seorang perawat di RS Holol yang terlibat adu mulut dengan pasien. Waktu sang perawat tidur pulas, si pasien membakar hingga tewas. Di Jepang, ada pasien gagal operasi plastik, menyuruh orang menusuk perawat hingga tewas pula.


Dari berbagai kasus di atas, perawat dalam menjalankan tugasnya harus mendapat perlindungan hukum dan keamanan. Sebab, dalam menjalankan tugas pengasuhan keperawatan kepada individu, kelompok atau masyarakat, baik kala sakit maupun sehat, berpotensi menimbulkan ketidakpuasan yang tinggi. Pasien atau keluarga pasien yang emosi dan frustasi bisa bertindak membahayakan. Apalagi, self control sedang rendah. Perawat bisa menjadi sasaran empuk sarkasme atau brutalisme atas kegagalan tindakan medis yang dialami.


Undang-undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan Pasal 36 dan 37 bahwa perawat punya hak dan kewajiban. Salah satu haknya adalah: " memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan".


Sayangnya, bentuk perlindungan hukum terhadap perawat tersebut tak diatur dengan detail. Ditambah dengan ketentuan hak dan kewajiban bagi pasien pada Pasal 38, 39 dan 40 UU Keperawatan tak disertai dengan sanksi administrasi maupun pidana. Tindakan melawan hukum pasien tak bisa dijerat dengan UU Keperawatan ini.


Oleh karena itu, ada kekosongan norma hukum dalam kasus kekerasan terhadap perawat. Satu sisi, UU Keperawatan menegaskan perlindungan hukum terhadap tindakan keperawatan, namun sisi lain, perawat tak aman terhadap ekses tindakan keperawatan. Pasien atau keluarga pasien bisa bertindak seenaknya tatkala perawat dinilai melakukan "kesalahan".


Kasus Christina menjadi contoh kongkrit, bagaimana si ayah pasien di atas hanya bisa dijerat dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 351. Dimana hukuman maksimal bagi pelaku penganiaan yang tak berakibat luka berat atau mati, hanya diancam pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau denda paling banyak Rp 4.500.


Padahal, Christina dianiaya saat bertugas dan di tempat tugas pula dalam menjalankan pelayanan kesehatan. Barangtentu, ketentuan pidana tersebut tak memadai dan jauh dari spirit perlindungan hukum bagi profesi perawat dalam menjalankan tugas keperawatan.


Atas dasar itu, Kasus Christina ini seyogyanya menjadi momentum untuk merevisi UU Keperawatan, dengan memasukkan klausul sanksi administrasi maupun pidana bagi pasien. Sehingga, ketentuan itu akan melindungi perawat dari sarkasme dan brutalisme, timbulkan efek jera, serta penghormatan terhadap profesi perawat. Semoga!


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute dan Pembina DPD PPNI Kabupaten Jember

Bagikan:

Komentar