|
Menu Close Menu

Bela Desakan Pembubaran MUI, Pakar Hukum Tata Negara Nilai Tidak Fair

Senin, 22 November 2021 | 11.13 WIB

 

Abd. Muni, Pakar Hukum Tata Negara Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura, Jawa Timur. (Dok/Istimewa).

Lensajatim.id, Pamekasan- Peristiwa penangkapan anggota  komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ahmad Zain An-Najah dan dua tokoh ulama lainnya oleh Densus 88 terkait dugaan keterlibatan kasus terorisme, terus mendapat perhatian banyak pihak.


Apalagi, peristiwa tersebut berimbas pada wacana desakan pembubaran MUI. Sontak ini mendapat reaksi keras dari
Pakar Hukum Tata Negara Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura, Abd. Muni. Menurut pria yang akrab disapa Muni ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukanlah lembaga kemaren sore di Bumi Pertiwi, MUI sudah masuk di usia 46 tahun pada tahun 2021.


“Itu menandakan bahwa, tidak sedikit hal-hal positif yang dilahirkan oleh MUI, meskipun juga mustahil jika eksistensi MUI tidak pernah menuai pro dan kontra dalam ikhwal produk yang dilahirkan,” jelas Muni saat dikonfirmasi media. Minggu, (21/11/2021).


Alumnus UINSA Surabaya ini menuturkan,  andai keberadaan MUI dinilai mengancam terhadap keutuhan NKRI, ataupun terdapat banyak hal yang bernilai negatif, sudah pasti eksistensi MUI tidak sampai setua ini.


“Bagi saya, pihak manapun sah memberikan koreksi terhadap institusi MUI, namun koreksi tersebut jangan sampai terkesan berlebihan,” kata dia.


Muni menyebut isu pembubaran MUI sangat tidak proporsional, semisal pasca penangkapan salah satu pimpinan MUI oleh Densus 88 faktor adanya dugaan keterlibatan dalam kasus terorisme, kemudian lahirlah opini publik dari kelompok tertentu yang menggiring pada pembubaran institusi MUI.


“Opini semacam ini tidak fair, mestinya tahu mana oknum dan mana institusi, jika ada salah satu oknum melakukan kesalahan lalu berinisiasi membubarkan lembaganya itu terkesan ada kebencian terhadap institusi, dengan memanfaatkan momen penangkapan sebagai pintu awal pembubaran, apalagi masih dalam tahap dugaan,” tandas akademisi kelahiran Sumenep Madura Jawa Timur ini.


“Dengan kata lain, untuk membunuh tikus tidak harus membakar lumbungnya, tangkap yang diduga teroris namun tidak perlu membubarkan lembaganya, apalagi masih dalam dugaan,” sambungnya.


Dalam teori hukum ada asas praduga tak bersalah, yaitu, setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.


Walaupun ketentuan hukum yang berlaku demikian, MUI menunjukkan keseriusannya dalam memerangi terorisme dengan langkah cerdas menonaktifkan Ahmad Zain dari Anggota Komisi Fatwa MUI.


“Menurut saya, MUI tetap konsisten dalam memerangi terorisme, sikap tersebut tidak hanya baru-baru ini, namun sejak dulu MUI mengeluarkan fatwa haram bagi terorisme, sebagaimana termaktub dalam Fatwa MUI No. 3 Tahun 2004 Tentang Terorisme. Oleh sebab itu, pembubaran lembaga MUI tidak lah lain hanya bentuk propaganda. Tidak mudah membubarkan MUI, karena MUI mempunyai peran dan fungsi yang diatur oleh undang-undang,” imbuhnya.


Iapun menyampaikan keberatan terhadap isu membubarkan MUI, bukan berarti tidak mendukung atensi memerangi terorisme, bahkan MUI sendiri pun bukan lembaga yang tidak konsisten dalam memerangi terorisme.


“Yang menjadi perhatikan kita bersama, bahwa membubarkan MUI bukan lah sebuah solusi solutif, justru pembubaran MUI akan melahirkan problematika baru,” tukas dia.


Sebegai informasi, Densus 88 menangkap Zain An-Najah di wilayah Bekasi, Jawa Barat, Selasa lalu. Polisi menyebut Zain diduga merupakan anggota Dewan Syuro dalam jaringan teroris Jamaah Islamiyah (JI) dan juga Ketua Dewan Syariah Lembaga Amil Zakat Baitul Maal Abdurrahman Bin Auf. (Red)

Bagikan:

Komentar