|
Menu Close Menu

Zain Polah, MUI Kepradah

Rabu, 17 November 2021 | 13.18 WIB

 


Oleh : Moch Eksan


Lensajatim.id Opini- Bak disambar petir di siang bolong, penangkapan Ustadz Dr Ahmad Zain An-Najah, MA oleh Pasukan Densus 88 Antiteror Polri. Penangkapan ini bersamaan juga dengan Ustadz Farid Okbah dan Anung Al-Hamat. Ketiganya dituduh terlibat dalam Jamaah Islamiyyah (JI) sebagai Dewan Syura organisasi teroris transnasional ini.


Ustadz Zain adalah anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seorang alumni S-3 Fakultas Studi Islam Jurusan Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, lulus tahun 2007. Selain, seorang intelektual muslim yang produktif menulis 22 judul buku. Di antaranya: Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam, Banyak Jalan Menuju Syurga, Menang Tanpa Perang, 

Membuka Pintu Langit, Nasionalisme, Masuk Surga Bersama Keluarga dan Membangun Negara dengan Tauhid.


Sosok Ustadz kelahiran Klaten Jawa Tengah, 16 Januari 1971 ini, siapa pun tak menyangka dapat terlibat dalam JI. Apalagi bila melihat penampilannya yang suka berkopiah hitam, berpakaian koko biasa, berceramah dengan santun dan dalam, serta berbagai pernyataannya tampak moderat. Hasil browsing di YouTube yang berisi ceramah Ustadz Zain, sulit ditemukan bahasa provokatif dan menyerang pemerintah dengan sarkasme.


Memang sebuah ironi, Ustadz Zain sampai terlibat dalam JI. Apalagi, ia besar dalam tradisi pendidikan dan organisasi Muhammadiyah. Lulus dari SD Muhammadiyah dan pernah menjadi Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Mesir. Sebuah organisasi besar Tanah Air yang ikut mendirikan Republik Indonesia.


Namun demikian, Mabes Polri mustahil menangkap dan menetapkan Ustadz Zain jadi tersangka kasus terorisme tanpa dua alat bukti yang cukup. Pasti Polri tak akan sengawur itu. Lihat reputasi Polri dalam mengungkap kasus-kasus terorisme di Tanah Air yang mendapatkan apresiasi dunia internasional.


Dalam konteks kasus, biarlah proses hukum berjalan fair dan adil, dengan tetap mengacu pada asas presumption of innocence (praduga tak bersalah). Walau secara dini, kasus ini harus dijadikan pembelajaran penting bagi MUI untuk selektif dalam merekrut pengurus. Jangan sampai seperti kata pepatah Jawa, pengurus Polah, MUI Kepradah.


MUI didesain pada 26 Juli 1975 untuk mewujudkan kehidupan beragama yang Pancasilais, membangun kerukunan umat beragama, serta menjalin hubungan yang harmonis antara pemerintah dan umat Islam Indonesia. Bila ada pengurus yang menjalankan peran antagonis, maka masa depan kehidupan beragama terancam. Bagaimana tidak, satu sisi ia menjadi pengurus dan sisi lain menjadi urusan keamanan. Ini bukti sel organisme radikalisme dan terorisme sudah masuk ke jantung keagamaan umat Islam Indonesia.


Kita harus ingat, organisasi terorisme transnasional adalah cerdik dan canggih dalam operasi intelejen. Tokoh secerdas Ustadz Zain bisa dikelabui oleh propaganda Assiyasah Assyar'iyah JI. Seorang pakar fiqih yang menulis disertasi dengan judul Al-Qodi Husein wa Atsaruhu Al-Fiqhiyah yang mendapat predikat  Summa Cum Laude dari Al-Azhar, Mesir. Apalagi orang-orang yang pengetahuan agama cuma di bawah alumni Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo, Jawa Tengah ini. Sudah pasti, lebih mudah dipenetrasi dengan ideologi radikalisme dan terorisme.


Kasus terorisme yang melibatkan pengurus aktif MUI ini, telah nyata-nyata mencoreng kelembagaan dan mengendurkan ghirah ulama dalam memerangi radikalisme dan terorisme di Tanah Air. Sehingga MUI harus melakukan evaluasi total terhadap pengurus aktif, baik tingkat pusat maupun daerah. Sekurangnya, ada 3 T yang harus dilakukan oleh organisasi pimpinan KH Miftahul Akhyar ini.


Pertama, testing, MUI melakukan tes terhadap seluruh pengurus untuk menguji keberadaan virus radikalisme dan terorisme dalam tubuh organisasi. Infeksi virus ini bisa melalui ikatan keluarga, alumni, pernikahan, pergaulan serta pengaruh media massa dan media sosial.


Kedua, tracing. MUI melakukan penulusuran kontak erat dengan suspect virus radikalisme dan terorisme. Sebagai paham dan keyakinan, virus ini menyebar melalui indoktrinasi dalam studi dan kajian yang intens dan berkala.


Ketiga, treatment. MUI melakukan tindak lanjut atas temuan kasus dan penulusuran penyebaran virus radikalisme dan terorisme. Tindak lanjutnya dapat berupa pencegahan, penegakan hukum,   pembinaan dan pelibatan dalam kontra radikalisme dan terorisme.


Oleh karena itu, langkah MUI dengan menonaktifkan Ustadz Zain, sangatlah tidak cukup. Kasus terorisme yang menyeret nama MUI, mesti dijadikan momentum untuk bersih-bersih dari anasir ulama anti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Upaya ini harus diberangi dengan peningkatan partisipasi seluruh ulama dalam pembangunan nasional.


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute dan Penulis Buku Dari Bom Bali Sampai Kuningan, Mencari Akar Terorisme di Tanah Air.

Bagikan:

Komentar