|
Menu Close Menu

Duka Cianjur, Kekalahan Mahathir, dan Kuasa Alam

Selasa, 22 November 2022 | 13.48 WIB



 Oleh Moch Eksan


Lensajatim.id, Opini-Sepekan terakhir ada kejadian luar biasa. Tuhan sedang menunjukkan kuasa melalui bencana alam dan politik. Duka Cianjur dan kekalahan Dr Tun Mahathir Mohamad, memberi pesan, manusia masih di bawah kuasa alam. Siapa pun tak kuasa melawan kehendakNya. Kala Dzat Yang Maha Kuasa berbicara.


Sayangnya, banyak manusia tak mau menyadari, bencana tak cukup menyurati kuasa alam, kuasa Tuhan. Padahal, alam punya tata kerja sendiri dalam menggerakkan semua. Termasuk melahirkan bencana yang merupakan big bang (ledakan dahsyat) akibat benturan dalam mengawali dan mengakhiri sebuah peristiwa besar dari alam semesta.


Stephen Hawking dalam A Brief History of Time, kendati awalnya mengingkari kerja Tuhan dalam alam semesta, akhirnya ia insyaf bahwa peristiwa brutal dan ketidakteraturan benda-benda langit dan bumi digerakan oleh Tuhan. Asal muasal alam ini berawal dari benturan dahsyat dan juga akan berakhir dengan benturan dahsyat pula.


DUKA CIANJUR

Duka Cianjur telah mengajari Republik Indonesia, bahwa bumi nusantara sangatlah rawan bencana. Gempa bumi di Kota Santri di Jawa Barat ini telah banyak menelan korban: 162 orang tewas, 326 orang luka-luka, 13.784 orang mengungsi, 345 rumah rusak, serta sejumlah gedung, rumah sakit, sekolah dan pondok pesantren juga alami hal sama.


Cianjur kata Daryono, Koordinator Bidang Mitigasi  Gempa bumi dan Tsunami  dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), merupakan daerah rawan bencana. Daerah ini beserta Sukabumi, Lembang, dan Purwakerta termasuk kawasan seismik aktif. Ada gunung api gede yang aktif  tersusun dari bebatuan rombakan dan aluvial sungai.


Wilayah ini pada umumnya berupa dataran, dataran bergelombang, perbukitan bergelombang serta terjal yang terdiri dari zona sesar bebatuan yang lunak dan mudah bergerak. Gerak tanah dan curah hujan yang tinggi bisa dengan gampang menyebabkan gempa bumi.


KEKALAHAN MAHATHIR

Disamping duka Cianjur di atas, kekalahan Tun Mahathir pada Pemilu Legislatif Malaysia, telah mengoncang dunia politik. Mahathir effect yang menaikkan stamina moral Wakil Presiden Indonesia, Prof Dr KH Ma'ruf Amien pada Pilpres 2019, saat ini berdampak pada demoralisasi para politisi senior di negeri ini. Bahwa kekuasaan itu ada batasnya. Bila sistem tak kuasa membatasi kekuasaan seseorang, alamlah yang terkadang ikut turun mengakhiri dominasi kekuasaan tersebut.


Tun Mahathir adalah politisi senior Malaysia yang berusia 97 tahun. Selama 53 tahun, ia tak pernah terkalahkan dalam pemilu raya. Tapi pemilu pasca dominasi kerajaan Barisan Nasional (BN), justru juga menghilangkan nama tokoh berpengaruh dunia ini dari percaturan politik Malaysia.


Mantan Perdana Menteri Barisan Nasional (1981-2003) dan Pekatan Harapan (2018-2020), kalah suara atas Mohd Suhaimi Abdullah dari Perikatan Nasional (PN). Ia hanya memperoleh suara 4.566 pemilih dari daerah pemilihan Langkawi. Sementara, rivalnya yang jadi mendapat suara 13.518 pemilih dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 25.463 orang.


PELAJARAN BERHARGA

Dari duka Cianjur dan kekalahan Mahathir ini, memberikan pelajaran sangat berharga. Antara lain:


Pertama, manusia punya keterbatasan. Alam telah membatasi dominasi manusia atas alam dan sesamanya. Semua ada waktunya. Ketika waktunya tiba, susunan kekuasan yang terstruktur, sistematis dan massif, akan hancur dengan sendirinya. Benturan benda dan kepentingan menyebabkan pergeseran lantaran ada energi baru di luar kuasa alam dan manusia itu sendiri.


Kedua, pergeseran lempengan bumi dan pelaku kekuasaan adalah sunnatullah yang abadi. Heracletos, filosof Yunani Kuno yang hidup 540-480 sebelum Masehi, mengatakan: "Tiada yang abadi di dunia kecuali perubahan". Alam dan politik pun semisal.


Ketiga, kuasa itu multak milik Tuhan. Dia tak menginginkan kuasaNya atas alam dan manusia di klaim. Oleh karena itu, kekuasan disilih-gantikan antar umat manusia. Tatkala, ada manusia merasa berkuasa sampai menafikan Tuhan, Dia ganti rasa ketir atas kematian dan kekalahan. Dia Dzat yang tak mau diserupakan dengan apapun makhluk ciptaanNya.


Akhirnya saya kutipkan pernyataan dari Kahlil Ghibran yang hidup 1883-1930 Masehi, berikut ini:


"Kefanaan manusia adalah seperti ayat-ayat yang ditulis di atas permukaan sungai. Aliran sungai berubah terus menerus.

Maka, kita janganlah heran, jika ternyata, orang yang kita kenal itu berubah perlakuannya kepada kita. Jangan kecewa, apalagi menyesal". Itulah sejatinya perubahan yang abadi dimaksud.


*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute

Bagikan:

Komentar