Oleh Moch Eksan
Lensajatim.id, Opini- Ada sahabat saya, M Alfian Helmy galau setengah dewa setelah membaca pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy'ari. Pasalnya, ia melontarkan kemungkinan sistem pemilu berubah dari sistem proporsional terbuka pada proporsional tertutup.
Perubahan sistem ini berimplikasi terhadap cara mencoblos, desain surat suara dan penetapan calon terpilih. Pemilih kembali mencoblos tanda gambar partai saja. Tidak ada nama calon legislatif di surat suara. Dan, calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.
Spekulasi Hasyim ini merujuk pada sidang Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai uji materi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3).
Sidang MK digelar atas permohonan Demas Brian Wicaksono pengurus PDI Perjuangan, Yuwono Pintadi anggota Partai Nasdem, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Mereka menilai sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak bertentangan dengan UUD 1945.
Yaitu Pasal 22E ayat (3) yang berbunyi: "(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik".
Nampaknya, para pemohon uji materi UU Pemilu tersebut, mempertentangkan kedaulatan rakyat dengan kedaulatan partai. Permohonan pembatalan beberapa pasal yang mengatur sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak, dianggap bertentangan dengan kedaulatan partai.
Mereka lupa bahwa keberadaan Pasal 22E pada UUD 1945 hasil amandemen adalah pemberian landasan hukum yang kuat bagi pelaksanaan pemilu sebagai wahana kedaulatan rakyat, sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD tersebut.
Partai politik sebagai peserta pemilu adalah instrumen dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Keberadaan partai politik untuk menjamin kepastian dan keamanan suara rakyat dalam pemilu. Bukan untuk menyabotase suara rakyat demi dan atas nama kedaulatan partai.
Partai tak punya kedaulatan. Yang punya kedaulatan di negara demokrasi adalah rakyat. Frasa kedaulatan partai apalagi membenturkan dengan kedaulatan rakyat adalah pemikiran yang konstrakonstitusional.
Para hakim konstitusi yang menjabat saat ini mesti memahami nalar konstitusi di balik keputusan Mahfudz MD dan kawan-kawan pada saat menyidangkan uji materi UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
"Menimbang bahwa dalil pemohon beralasan sepanjang mengenai pasal 214 huruf a, b, c, d, e UU 10/2008 maka permohonan pemohon dikabulkan," ujar ketua MK Mahfud MD dalam membacakan putusan di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (23/12/2008).
Arsyad Sanusi salah satu hakim konstitusi waktu itu, mengemukan alasan menerima permohonan Muhammad Sholeh dari kader PDIP dan Sutjipto dari Partai Demokrat, karena sistem nomor urut bertentangan dengan kedaulatan rakyat. Selain, sistem nomor urut ini memasung hak suara rakyat untuk memilih.
Jadi, sistem proporsional tertutup bukan hanya menyalahi konstitusi tetapi memberangus hak rakyat untuk memilih partai dan calon legislatif yang diusulkannya.
Bahwa kemudian, sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak menimbulkan politik biaya tinggi, loyalitas pada partai yang kurang, acap memantik konflik internal partai, tak bisa dijadikan alasan untuk merubah sistem yang sudah berjalan.
Sebab semua itu pekerjaan rumah partai yang harus dibereskan. Partai punya tugas dan kewajiban melakukan pendidikan politik pada kader dan masyarakat pemilih agar tak membudayakan money politics, membiasakan meritokrasi dalam sistem rekrutmen calon, serta melazimkan keterbukaan dalam mengelola partai.
Sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak telah mendorong partisipasi rakyat seluas-luasnya, serta menjamin pemenuhan hak konstitusi rakyat dalam memilih.
Sementara, sistem proporsional tertutup dengan nomor urut akan menjerumuskan kembali partai sistem totalitarianisme baru. Suara rakyat pasti dikalahkan oleh suara elite partai. Berlahan tapi pasti, partai semakin tertutup, sehingga komorbit antidemokrasi akan kian menggerogoti proses demokratisasi di partai.
Sekarang pilihannya tinggal, apakah kita ingin partai terbuka atau partai tertutup? Di era keterbukaan ini, nyata-nyata usaha untuk mengembalikan sistem pemilu pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, melawan arus zaman. Ini wayahe peningkatan kualitas pemilu yang Luber dan Jurdil.
Nasib demokrasi Indonesia sedang dipertaruhkan dalam uji materi UU Pemilu. Bila hakim konstitusi konsisten terhadap keputusan MK sebelumnya, maka keputusannya pasti permohonan pemohon ditolak. Namun, bila sebaliknya, palu majlis hakim konstitusi akan membawa demokrasi ke tiang gantung sejarah.
*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute
Komentar