|
Menu Close Menu

Mahfud MD Sebut Sensasi Berlebihan Soal Putusan PN JAKPUS Tentang Penundaan Pemilu 2024

Jumat, 03 Maret 2023 | 23.00 WIB

Menkopolhukam RI, Mahfud MD, saat bersama Keponakannya Firman Syah Ali (Batik). (Dok/Istimewa).

Lensajatim.id, Jakarta – Mahfud MD, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Republik Indonesia (RI) angkat bicara soal Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) yang memutuskan tentang pemilu 2024 ditunda. Sabtu, 4 Maret 2023.


Hal itu disampaikan langsung oleh  Mahfud Md sebagaimana dikutip dari akun Instagram @mohmahfudmd yang diunggahnya pada Jumat (03/03/2023) kemaren. Postingan tersebut hingga saat mendapatkan 26.090 suka dan 1.211 komentar dari berbagai pengguna akun instagram lainnya.


Menurutnya, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membuat sensasi yg berlebihan. Pasalnya, KPU divonis kalah atas gugatan sebuah partai dalam perkara perdata oleh PN. 


"Vonis itu salah, logikanya sederhana, mudah dipatahkan tapi vonis ini bisa memancing kontroversi yang bisa mengganggu konsentrasi. Bisa saja nanti ada yang mempolitisir seakan-akan putusan itu benar," tulisnya, Jumat (03/03/2023) kemaren.


Untuk itu, diirinya mengajak  mengajak KPU naik banding dan melawan habis-habisan secara hukum. Karena, Kalau secara logika hukum pastilah KPU menang. Mengapa? Karena PN tidak punya wewenang untuk membuat vonis tersebut dengan alasan hukum yang ada.


Pertama, sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum. Kompetensi atas sengketa pemilu bukan di Pengadilan Negeri. Sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses admintrasi yang memutus hrs Bawaslu tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN.


"Nah Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara. Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK)," jelasnya.


"Itu pakemnya. Tak ada kompetensinya Pengadilan Umum. Perbuatan Melawan Hukum secara perdata tak bisa dijadikan obyek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu," imbuhnya.


Kemudian, lanjut Mahfud, hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sbg kasus perdata. Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN. Menurut UU penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sbg alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia.


"Misalnya, di daerah yg sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan. Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu," katanya mencontoh.


"Menurut saya, vonis PN tersebut tak bisa dimintakan eksekusi. Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekusi. Mengapa? Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU," sambutannya.


Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia itu menambahkan, Penundaan pemilu hanya karena gugatan perdata parpol bukan hanya bertentangan dengan UU tetapi juga bertentangan dengan konstitusi yang telah menerapkan pemilu dilaksanakan 5 Tahun sekali.


"Kita harus melawan secara hukum vonis ini. Ini soal mudah, tetapi kita harus mengimbangi kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul," katanya mengakhiri keterangan dalam status akun resmi Instagram pribadinya. (Fauzi).

Bagikan:

Komentar