|
Menu Close Menu

Willy Aditya Sampaikan Urgensi RUU Masyarakat Hukum Adat, Begini Penjelasannya

Kamis, 09 Maret 2023 | 21.00 WIB

Willy Aditya, Ketua Panja RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA).

Lensajatim.id, Jakarta- RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA) dinilai sangat urgent dan dibutuhkan sebagai landasan hukum masyarakat adat di Indonesia. Tetapi perjuangan merealisasikan UU itu selalu terbentur karena dipertentangkannya masyarakat adat dan pembangunan (developmentalisme).


"Pancasila lahir dari tradisi-tradisi masyarakat adat. Merealisasikan RUU MHA adalah menjaga jati diri kita, menghargai nilai historis kita, menjaga identitas Republik, dan merawat Pancasila itu sendiri. Ini yang pokok dan urgent," kata Willy Aditya, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU MHA  dalam Forum Diskusi Denpasar 12 dengan tema 'Menempatkan Masyarakat Adat dan Perempuan Adat dalam Konteks Kebangsaan', secara hibrid, Rabu (8/3/2023).


Keberadaan masyarakat adat, tambah Willy, telah termanifestasi dalam Pasal 18 UUD 1945 sebelum diamandemen. Konstitusi Indonesia membuat istilah untuk masyarakat adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat atau masyarakat tradisional. Sebab itu, menjaga eksistensi masyarakat adat sama halnya dengan merawat kebangsaan.


Willy menambahkan, kegentingan lain yang mendesak agar RUU MHA segera direalisasikan adalah menghilangnya bahasa daerah secara terus menerus. Berdasarkan laporan UNESCO, secara gradual dua bahasa daerah di Indonesia hilang penggunaannya setiap tahun.


"Kenapa bisa hilang? Karena kita tidak memelihara ruang hidup dan ruang lingkup masyarakat adat untuk bisa terus mengekspresikan dirinya. Ruang hidup mereka tergerus, tergusur, bahkan direnggut," tandas Legislator NasDem itu.


Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR itu mengatakan yang menjadi tantangan terbesar RUU MHA adalah dipertentangkannya RUU itu dengan pembangunan. Narasi itu harus dicari titik temu bahwa keduanya tidak serta merta bertentangan.


"RUU MHA mendapat respon lebih keras daripada RUU PPRT. Narasinya selalu berbicara bahwa RUU MHA adalah UU yang dipertentangkan dengan pembangunan, dengan modal besar. Kita harus cari titik temu, padahal ini untuk merawat Indonesia, merawat akar Pancasila. Narasi seperti bahasa, ruang hidup, dan sebagainya hampir tidak muncul," imbuhnya.


Perjalanan RUU MHA dimulai dari periode DPR 2014-2019. Willy mengatakan, dalam dua periode DPR, Fraksi Partai NasDem konsisten mengusulkan RUU itu menjadi RUU inisiatif DPR. Pada Rapat Pleno Baleg 4 September 2020 telah disepakati RUU MHA dimajukan ke paripurna untuk disahkan sebagai RUU usulan DPR. Namun hingga kini RUU itu tidak kunjung dibawa ke paripurna oleh pimpinan DPR.


"Ada delapan fraksi bersepakat dan satu fraksi menolak yaitu Golkar. Narasinya sama. Waktu itu kita sedang membahas RUU Cipta Kerja, kemudian narasi mayor adalah, ini akan menghambat investasi. Inilah yang menjadi tantangan politik legislasi kita, ada delapan fraksi yang bersepakat, tapi satu fraksi menolak sehingga sampai hari ini RUU MHA belum diparipurnakan," urainya.


Legislator NasDem dari Dapil Jawa Timur XI (Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, dan Sampang) ini menggaransi perjuangan untuk RUU MHA tidak akan pernah berhenti.  Fraksi Partai NasDem akan terus berjuang dan mengawal RUU MHA sampai menjadi UU.


"Ini untuk merawat Indonesia, merawat akar Pancasila dan Republik," pungkas Willy.(fraksinasdem).

Bagikan:

Komentar