|
Menu Close Menu

Devaluasi Elektoral Erdogan dan Hawa Kemenangan Penantang

Selasa, 16 Mei 2023 | 13.52 WIB



Oleh Moch Eksan


Lensajatim.id, Opini- Kendati Resep Tayyib Erdogan unggul atas 3 calon presiden Republik Turki yang lain, Pilpres putaran kedua terpaksa harus digelar. Sebab, tak ada satu pun capres yang memperoleh 50 plus 1, hatta presiden petahana yang sudah berkuasa 20 tahun lebih.


Hasil perhitungan suara sementara yang sudah mencapai 99,9 persen dan disiarkan oleh Stasiun TV Al-Jazirah, Erdogan 49,5 persen, Kemal Kilicdaroglu 44,9 persen, Sinan Ogan 5,2 dan Muharrem Ince 0,4 persen. Erdogan dan Kilicdaroglu masuk dalam putaran kedua yang diperkirakan akan dilaksanakan pada 28 Mei 2023.


Memang Erdogan masih unggul, namun kegagalan memenangkan Pilpres Turki satu putaran, bukti ia mengalami devaluasi elektoral. Dua kali pilpres sebelumnya, ia langsung menang di putaran pertama. Pada Pilpres 2014, dapat suara sebesar 21 juta lebih atau 51,79 persen.  Sedangkan, pada Pilpres 2018, memperoleh 26 juta lebih atau 52,59 persen.


Jadi, Pilpres 2023 ini merupakan pemilihan terberat bagi Erdogan. Bila basis pemilih tradisionalnya yang berbasis Islam puritan tak berkembang, maka bisa-bisa terjungkal pada putaran kedua. Sebab, dua capres yang tersisih, Ogan dan Ince lebih mungkin mengalihkan suaranya kepada Kilicdaroglu.


Dengan demikian, karir politik Erdogan seperti diujung tanduk. Ia sangat mungkin tak mendapatkan mandat mayoritas rakyat Turki. Dari 64 juta pemilih, suhunya lebih mengarah pada perubahan. Ia dinilai gagal mengatasi inflasi ekonomi dan gempa bumi yang menewaskan 50 ribu lebih penduduk Turki Tengah dan Selatan.


Akan tetapi, perubahan politik Turki bergantung pada kepiawaian Kilicdaroglu mengajak Ogan dan Ince, capres yang tersingkir di putaran pertama, untuk menyatukan kekuatan dalam mengakhiri rezim Erdogan. Sebuah jalan bagi kebangkitan sekularisme Mustafa Kemal Ataturk di negara bekas Ottoman Turki Ustmani.


Kilicdaroglu adalah pemimpin oposisi utama dari rezim Erdogan. Ia lahir di Ballica Turki, 17 Desember 1948. Seorang ketua Umum Partai Rakyat Republik yang berlatar akuntan keuangan. Ia masuk ke politik dan menjadi anggota parlemen pertama pada 2002 sebagai deputi Istambul. Pada 2007, ia kembali terpilih sebagai anggota partmen dan menjadi jurubicara partainya di parlemen.


Sebagai jurubicara partai, Kilicdaroglu menjadi media darling yang acap mengalahkan lawan debatnya. Sehingga, ia menjadi tokoh politik yang mendapat perhatian dan disenangi oleh media massa. Akhirnya, ia menjadi pemimpin partai dan menggantikan Deniz Baykal sebagai Pemimpin Partai Rakyat Republik pada 2010.


Partai Rakyat Republik atau Cumhuriyet Halk Partisi (CHP) merupakan partai besutan Ataturk. Awalnya, partai ini merupakan gerakan perlawanan Ottoman Turki Utsmani yang didirikan pada 1919, dan kemudian menjadi partai pada 1923.


Melalui gerakan dan partai ini, Dinasti Utsmani riwayatnya tamat dan diganti dengan Republik Turki Modern dibawah kepemimpinan presiden pertama Ataturk. Era sekularisasi telah membawa masyarakat Turki yang notabene 89,5 persen muslim pada sistem sekuler.


Wajar, bila capres oposisi terkuat, Kilicdaroglu tak mau mempublikasikan agamanya. Ia tak mau mencampuradukkan antara agama dan politik. Ia penganut ideologi Kemalis dan demokrat sosialis Eropa. Ia seorang pengikut Alevi.


Alevi merupakan aliran dalam Islam yang berkembang di Turki dan Siprus. Aliran ini bersumber dari ajaran Syiah yang mencampur sinkritisme dan sufisme dalam Islam. Dalam melakukan ritual tak dilakukan di masjid tapi diperkumpulan yang diikuti oleh laki-laki dan perempuan dengan tarian mistis serta diiringi dengan musik tradisional. Mereka diperkenankan berdoa dengan bahasa ibunya masing-masing.


Jadi, pertarungan ideologis antara kelompok Islam dan sekuler di Turki belum ada tanda-anda akan usai sampai sekarang. Setiap pemilu, pertarungan dua kelompok selalu mewarnai kontestasi pilpres maupun pileg. Negara belum bisa mendamaikan dua ideologi menjadi Republikanisme Turki. Islamisme adalah suatu kenyataan politik. Dan sekularisme adalah suatu kenyataan politik yang lain. Keduanya tidak bisa dinegasikan antara satu demi yang lain.


Satu abad Republik Turki Modern pada 29 Oktober 2023, tak bisa mengakomodasi semua kekuatan politik yang ada dalam sistem presidensial. Tradisi hitam putih dan the winner take all (yang menang mengambil semua), menjadi corak demokrasi terkini Turki.


Sepertinya, pemilu ke pemilu di Turki, belum bisa mencairkan dua kutub ideologi massa pemilu menjadi pemilih mengambang. Mereka pemilih rasional yang semakin moderat dan bisa lintas ideologis. Mereka yang memilih bukan atas dasar orientasi politik ideologis an sich, tapi lantaran program pragmatis yang pro rakyat.


Pilpres putaran kedua antara Erdogan versus Kilicdaroglu tetap dalam atmosfir pertarungan Islam dan Kemalisme. Padahal, kedua kelompok ini punya kontribusi terhadap masa depan Republik Turki. Selama 100 tahun, kedua kelompok silih berganti. Kadang Kemalian berkuasa. Islamian beroposisi. Dan sebaliknya, Islamian berkuasa. Kemalian beroposisi.


Sesungguhnya, mereka adalah aset negara untuk kesinambungan dan kelanjutan bangsa Turkish. Suatu bangsa yang memiliki budaya bernegara sejak Kesultanan Ustmani pada 1299 sampai Republik Turki Modern pada 1923. Rasanya hawa kekalahan Erdogan dan kemenangan Kilicdaroglu akan melahirkan suksesi kepemimpinan.


*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute

Bagikan:

Komentar