|
Menu Close Menu

Politik Sektarian dan Kegagalan Pilpres Libanon

Jumat, 07 Juli 2023 | 11.07 WIB

Moch Eksan. (Dok/Istimewa).


Oleh Moch Eksan


Lensajatim.id, Opini- Pada akhir dekade 80an dan awal 90an, saya bermukim di pesantren. Dari sini, saya lihat kitab berjilid-jilid berjejer di rak perpustakaan pribadi kiai. Keberadaan kitab babon pesantren Nusantara tersebut memberikan nilai intelektual dan estetika bagi sang pemilik rumah.


Rerata kitab yang dikoleksi adalah kitab tafsir, hadits, fiqih dan tasawuf cetakan Daar el-Fikr dan Daar el-Kutub Ilmiah Bairut,Libanon. Negara yang menjadi persimpangan Arab dan Eropa yang dikenal kemajuan kebudayaan dan peradaban di Barat maupun di Timur.


Sejarah perjumpaan dengan kitab terbitan Beirut ini, semakin membenarkan bahwa "buku adalah jendela dunia". Buku yang mendorong bagi banyak pihak untuk lebih dalam mengenal ibu kota Libanon yang berjuluk Paris Timur Tengah.


Libanon adalah negara bekas koloni Prancis pasca lepas dari rezim Ottoman Turki. Negara ini memang merdeka pada 1943, namun masih sarat dengan intervensi asing, hatta dalam urusan el-harb el-ahliyyah el-libnaniyah (perang saudara Libanon) yang berlangsung sejak 1975-1990.


Pengalaman pahit el-Jumhuriah el-Libnaniyah (Republik Libanon) dalam perang saudara yang melibatkan Suriah, Palestina, Israel dan Amerika Serikat. Perang ini menimbulkan kerugian sangat besar bagi rezim Beirut. Hasilnya, korban tewas 130-250 ribu, 1 juta orang terluka, ekonomi hancur, pendudukan Israel,  munculnya milisi Hizbullah dan Taif Aggreement (Perjanjian Taif).


Perjanjian Taif adalah peta jalan bagi rekonsiliasi dan reformasi politik Libanon. Delapan faksi dan kelompok sektarian sepakat mengakhiri perang saudara, dan memilih demokrasi sebagai jalan kekuasaan dengan power sharing yang jelas dan pasti di antara mereka


Dengan sistem demokrasi parlementer, maka  kedudukan penting dan strategis di Libanon dibagi-bagi. Jabatan Presiden untuk Kristen  Maronit, perdana menteri dari Islam Sunni, dan ketua parlemen berasal Islam Syiah. Pembagian kekuasaan ini sesungguhnya telah berlangsung sejak 1943, namun terganggu oleh perang saudara. 


Perjanjian Taif telah melahirkan konfigurasi kekuatan politik baru antara Islam dan Kristen. Semula 6:5 akhirnya berubah menjadi 1:1 bagi dua agama besar di Libanon ini.


Pemilu legislatif terakhir telah menggambarkan bahwa 128 kursi yang diperebutkan, ada 64 kursi untuk kuota umat Islam dan 64 kuota kursi untuk umat Kristen. Hasil Pemilu 2022 misalnya mengkonfirmasi pembagian kekuasaan dengan rincian berikut: Pertama, Kelompok Islam masing-masing Sunni (27 kursi), Syiah (27 kursi), Druze (8 kursi, dan Alawi (2 kursi).


Sedangkan kedua, kelompok Kristen masing-masing Kristen Maronit (34 kursi), Ortodoks Yunani (14 kursi), Katolik Roma (8 kursi), Ortodoks Armenia (5 kursi), Katolik Armenia (1 kursi), Injili (1 kursi), dan minoritas Kristen (1 kursi).


Pembagian kursi di atas mengacu pada kesepakatan kelompok yang dituangkan dalam undang-undang pemilu. Sementara, masa jabatan parlemen di Libanon 4 tahun dan setelah itu digelar pemilu legislatif kembali.


Para anggota parlemen hasil pemilu legislatif 2022 lalu punya tugas dan tanggungjawab untuk memilih presiden Libanon pasca masa jabatan Presiden Michel Aoun habis pada 30 Oktober 2022. 


Namun, sampai sekarang parlemen pimpinan Nabih Birri untuk ke-12 kali pada Rabu, 14 Juni 2023, gagal memilih presiden. Sebab tak ada satu pun yang melampaui suara mayoritas parlemen 50 persen lebih.


Dua kandidat yang maju tak satu pun memperoleh 65 kursi lebih. Dua kandidat yang diusung oleh Hizbullah dan lawannya memperoleh suara minimum parlemen. Jihad Azour mendapatkan 59 suara. Sedangkan, Sulaeman Franjieh mendapatkan 51 suara.


Konsekuensi logis dari parlemen yang gagal pilih presiden, Libanon dililit krisis politik yang berdampak pada semua bidang. Seruan berbagai pihak dari luar negeri, Prancis maupun Amerika, juga tak efektif menstabilkan politik dalam negeri yang berpenduduk 5,5 juta lebih. 


Padahal, kedudukan presiden sebagai kepala negara sangat penting untuk menjaga dan merawat persatuan dan kesatuan Libanon di tengah trauma perang saudara dan Pandemi Covid-19.


Selain sebagai simbol persatuan dan integritas wilayah, Presiden Libanon merupakan panglima tertinggi angkatan bersenjata yang tunduk pada otoritas Dewan Menteri.


Memang, lakon parlemen yang gagal pilih presiden acapkali terjadi. Bahkan, lantaran kekosongan jabatan presiden, pemilu legislatif yang semestinya dilaksanakan setiap 4 tahun sekali sampai ditunda, sehingga masa jabatan anggota parlemen periode 2009-2013 diperpanjang sampai 2018.


Hal yang sama dialami oleh Libanon pasca Presiden Aoun yang berkuasa 6 tahun sejak 2016 sampai 2022. Para anggota parlemen mengulangi sejarah keterpilihan Presiden Aoun yang melewati sesi elektoral sebanyak 46 kali.


Nampaknya, nasib capres Azour dan Franjieh menggantung selama drama politik faksi parlemen belum kelar berunding dan membuat kesepakatan. Naga-naganya, para anggota parlemen tak mau didekte oleh kekuatan politik dalam maupun luar negeri.


Mereka belum nampak akan mengakhiri drama pemilihan ini. Sehingga, sesi elektoral akan lebih panjang dari harapan banyak kalangan. Mengingat jabatan presiden hanya satu periode saja. Setelah itu tak bisa dipilih kembali.


Jadi, pelembagaan politik sektarian telah menghambat konsolidasi demokrasi di Libanon. Atas nama kepentingan kelompok, kepentingan stabilitas politik nasional dapat dikesampingkan. 


Disinilah kritik dari Fahd bin Saleh Alajlani dalam buku Al-Intikhabat wa Ahkamuha fil Fiqhil Islami, punya relevansi. Bahwa demokrasi yang tak berdasarkan ijma' (konsensus) dan semata berbasis aktsarus shaut (suara terbanyak) bisa melahirkan praktek dan produk politik yang bertentangan dengan akal sehat dan hati nurani. Na'udzubillahi min dzalik.


*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute

Bagikan:

Komentar