|
Menu Close Menu

Optimalisasi Penegakan Hukum Lingkungan

Jumat, 29 Desember 2023 | 09.56 WIB




Oleh: Ribut Baidi*


Lensajatim.id, Opini- Kejahatan lingkungan semakin marak dan meluas di berbagai wilayah Indonesia yang dilakukan secara sengaja oleh individu maupun korporasi yang berdampak terhadap rusaknya ekosistem alam, ekologi, mengancam kesehatan dan keselamatan manusia serta makhluk hidup lainnya. Kejahatan tersebut tidak hanya sekedar fenomena biasa, tetapi menjadi problematika serius sebagai kejahatan hak asasi manusia (HAM) yang tidak boleh dibiarkan.


Problematika tersebut sebenarnya telah lama menjadi diskursus di beberapa elemen, mulai dari kalangan ahli, praktisi, lembaga bantuan hukum (LBH), lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat umum, serta pemerintah. Beberapa konsep dalam bentuk rekomendasi terhadap upaya melestarikan lingkungan dengan mencegah pencemaran dan/atau kerusakan, termasuk rekomendasi penegakan hukum yang serius terhadap pelaku kejahatan lingkungan adalah keniscayaan yang terus bermunculan. Namun, rekomendasi tersebut masih belum maksimal dijalankan oleh pemangku kepentingan, terutama dari kalangan eksekutif maupun yudikatif. Di sisi lain, semua lapisan masyarakat harus sadar dan memberikan dukungan secara penuh terhadap tindakan pemerintah yang berpihak kepada perlindungan lingkungan maupun sumber daya alam (SDA) yang ada di dalamnya agar di masa-masa yang akan datang tidak lagi bermunculan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan potensial yang dapat mengancam keberlangsungan eksistensi teritorial di berbagai belahan wilayah Indonesia.


Kepedulian Semua Pihak


Rilis data Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Dirjen Gakkum-KLHK) bahwa sejak tahun 2015-2021, jumlah penegakan hukum pidana terhadap kejahatan lingkungan sekitar 1.094 (seribu sembilan puluh empat) kasus, dengan total penegakan hukum pidana di tahun 2021 mencapai 190 (seratus sembilan puluh) kasus. Adapun kejahatan bidang lingkungan tersebut, meliputi: pembalakan liar, peredaran ilegal TSL, kebakaran hutan dan lahan, perambahan, pencemaran lingkungan, dan kerusakan lingkungan. Total pengaduan kejahatan lingkungan sejak tahun 2015-2021 berjumlah 5.867 (lima ribu delapan ratus enam puluh tujuh), dengan jumlah pengaduan di tahun 2021 mencapai 1.458 (seribu empat ratus lima puluh delapan) laporan pengaduan (http://gakkum.menlhk.go.id/kinerja/penegakan). 


Totok Dwi Diantoro (2009) menyatakan bahwa faktor krusial dalam dua dekade terakhir yang menyangkut lingkungan dan cenderung tidak pernah teratasi adalah cepatnya kerusakan dan pencemaran lingkungan melampaui kecepatan pemulihan dan langkanya kegiatan pemantauan mutu lingkungan yang dilakukan secara sistematis, reguler, kontinuitas, dan adanya basis data sebagai modal dasar untuk mengevaluasi kinerja pengelolaan dan mutu SDA dan lingkungan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Upaya mencegah kejahatan lingkungan yang semakin besar dan meluas dan menindak pelaku kejahatan lingkungan yang proporsional sesuai tingkat kejahatannya perlu dilalukan secara integratif dengan melibatkan semua unsur internal pemerintah, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pemerintah daerah, pemerintah pusat, terutama departemen perdagangan, departemen perindustrian, departemen kehutanan, departemen pekerjaan umum, kantor menteri negara lingkungan hidup, laboratorium kriminal, bahkan dari unsur masyarakat yang diwakili oleh LSM, LBH, maupun organisasi kemasyarakatan lainnya adalah salah satu langkah konkret di tengah semakin tercemar dan rusaknya lingkungan saat ini. Di samping itu pula, pengayaan terhadap data (sample) kejahatan lingkungan dan penguasaan terhadap delik lingkungan oleh aparat penegak hukum (APH) harus benar-benar ditingkatkan. 


Memperkuat Instrumen Hukum Kepidanaan Lingkungan


Sebagai imbangan adanya hak asasi setiap orang dalam lingkungan, negara diharuskan menjamin terpenuhinya hak setiap orang untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat karena hal tersebut merupakan bagian dari HAM.  Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Konsideran menimbang huruf a UU 39/1999 tentang HAM (UU HAM) menyebutkan: “bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Masa Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya”. Kemudian, Pasal 3 ayat (1) UU HAM menyebutkan: “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. 


Kejahatan lingkungan yang berwujud pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan saat ini kuantitasnya semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kegiatan industri dan pemanfaatan SDA yang melampaui batas. Lingkungan yang seharusnya dijaga, dilestarikan, dan dimanfaatkan untuk kepentingan publik (res commune), justru dieksploitasi dan dimonopoli oleh segelintir orang secara bebas (res nullius), sehingga tidak hanya negara yang dirugikan, tetapi juga masyarakat secara kolektif mengalami dampak kerugian maupun menjadi korban kejahatan lingkungan (environmental crime victim).


Penerapan sanksi pidana sebagai pilihan terakhir (ultimum remedium), tidak terkecuali bagi pelaku kejahatan lingkungan adalah kebijakan yang kurang adil dan kurang proporsional bagi upaya melindungi lingkungan dari pencemaran dan/atau kerusakan. Perlindungan lingkungan merupakan kewajiban negara melalui penguatan perangkat hukum. Negara berhak memaksa dengan sanksi hukum, terutama sanksi pidana yang tegas, adil, dan proporsional bagi setiap orang agar tidak melakukan tindakan yang dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan yang berdampak buruk terhadap keberlangsungan ekosistem alam, ekologi, manusia, dan makhluk hidup lainnya.


Dengan demikian, tidak hanya sebatas kebutuhan yang harus dipenuhi, tetapi sudah menjadi keniscayaan (keharusan) untuk menjadikan hukum pidana sebagai sarana awal (primum remedium) bagi pelaku kejahatan lingkungan sebagai bentuk pencegahan (preventif) agar tidak muncul kejahatan lingkungan yang baru di masa kini maupun di masa yang akan datang, serta sebagai bentuk penindakan secara tegas (represif), karena kejahatan lingkungan adalah bagian dari kejahatan HAM yang tidak boleh dibiarkan. (*).


*Advokat dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Madura (UIM);

Pengurus Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI)

Bagikan:

Komentar