|
Menu Close Menu

Mencegah Deforestasi Liar Melalui Penegakan Hukum

Senin, 19 Februari 2024 | 07.57 WIB




Oleh: Ribut Baidi*


Lensajatim.id, Opini- Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan kekayaan alam yang membentang sangat luas, baik meliputi lautan dan pesisir maupun daratan dan kawasan hutan. Dengan kekayaan alam tersebut, Indonesia menjadi negara yang banyak diincar oleh negara-negara asing, baik dengan cara yang legal sebagai investor maupun dengan cara ilegal seperti pencurian aset hutan, perebutan pulau, serta perampasan wilayah kedaulatan.

Sebagai negara dengan kekayaan hutan yang sangat besar, pemerintah Indonesia harus waspada terhadap potensi banyaknya kerusakan hutan dari waktu ke waktu untuk kepentingan bisnis dan ekonomi maupun perluasan lahan pemukiman (residental land). Aktifitas bisnis dan ekonomi masyarakat yang menggantungkan pada sumber daya alam (SDA) disertai pula kebutuhan terhadap lahan pemukiman (residental land) karena pertumbuhan populasi manusia yang sangat meningkat, tentu sangat berpotensi terhadap meningkatnya deforestasi di Indonesia. Implikasi buruk deforestasi di Indonesia, di samping menimbulkan kerugian negara, juga berdampak pula terhadap kerusakan kehidupan sosial budaya, kerusakan lingkungan hidup, serta meningkatnya pemanasan global (global warming) yang menjadi isu regional, nasional, internasional, bahkan secara global. 


Fakta Empiris Deforestasi

Forest Watch Indonesia (2014) menyatakan bahwa Indonesia saat ini sedang menghadapi persoalan besar terkait pengelolaan hutan tidak berkelanjutan dan berdampak deforestasi, yang salah satunya disebabkan buruknya tata kelola hutan yang terjadi secara linear di semua level pemerintahan. Terlebih lagi, adanya pemekaran wilayah menjadi daerah otonomi baru menjadikan persoalan di level pemerintah daerah semakin kompleks. Kompleksitas problematika tersebut cepat atau lambat akan menyebabkan kehancuran sumber daya hutan yang tersisa. Di sisi lain,  kerusakan hutan dan deforestasi di Indonesia disebabkan oleh lima hal. Pertama, konversi hutan alam menjadi tanaman tahunan. Kedua, konversi hutan alam menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Ketiga, eksplorasi dan eksploitasi industri ekstraktif pada kawasan hutan (mineral, batubara, migas, geothermal). Keempat, pembakaran hutan dan lahan. Kelima,  konversi untuk transmigrasi dan infrastruktur lainnya. 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tanggal 18 Januari 2024 merilis data lahan berhutan di seluruh daratan Indonesia seluas 96,0 juta hektar (ha) atau 51,2% dari total daratan. Di mana luas 88,3 juta ha berhutan atau sekitar 92,0% berada di dalam kawasan hutan dengan tingkat deforestasi tahun 2021 -2022 adalah sebesar 104 ribu ha. Angka ini berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 119,4 ribu ha dikurangi reforestasi sebesar 15,4 ribu ha. Luas deforestasi tertinggi terjadi di kelas hutan sekunder, yaitu 105,2 ribu ha, di mana 71,3% atau 75,0 ribu ha berada di dalam kawasan hutan dan sisanya seluas 30,2 ribu ha atau 28,7% berada di luar kawasan hutan. Sebagai pembanding, hasil pemantauan hutan Indonesia tahun 2020-2021 menunjukkan bahwa deforestasi Indonesia tahun 2020-2021 adalah sebesar 113,5 ribu ha yang berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 139,1 ribu ha dikurangi reforestasi sebesar 25,6 ribu ha. Dengan memperhatikan hasil pemantauan tahun 2020-2021 dapat dilihat bahwa deforestasi Indonesia tahun 2021-2022 terjadi penurunan 8,4 % (https://ppid.menlhk.go.id). 


Memaksimalkan Penegakan Hukum

Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UU PPLH) sebagai hukum yang bersifat umum (lex generalist) dibuat untuk melindungi lingkungan hidup dari pencemaran dan/atau kerusakan yang dilakukan oleh semua orang, baik secara personal maupun terorganisir untuk tujuan keuntungan materi (profit oriented) dengan mengabaikan tujuan negara di dalam pengelolaan lingkungan hidup dan SDA untuk kepentingan penciptaan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Eksistensi hutan sebagai bagian dari SDA potensial diincar untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin yang kerap terjadi disertai pelanggaran hukum, seperti pembalakan liar, pembakaran hutan untuk tujuan bisnis dan ekonomi, serta perusakan hutan untuk perluasan dan pemenuhan lahan pemukiman (residental land). 

Di samping UU PPLH untuk melindungi lingkungan hidup termasuk hutan, pemerintah telah membuat aturan hukum yang bersifat khusus (lex specialist) untuk melindungi hutan. Selain undang-undang nomor 41 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan undang-undang nomor 19 tahun 2004 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang kehutanan menjadi undang-undang (UU Kehutanan), juga ada undang-undang nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan (UU PPPH) dengan maksud untuk memperkuat instrumen penegakan hukum bidang kehutanan. Meskipun, dalam UU PPPH penegakan hukum lebih fokus terhadap sanksi pidana dan tidak memuat penegakan hukum secara keperdataan dan administrasi seperti yang diatur di dalam UU PPLH, tetapi keberadaan UU PPPH sangat besar manfaatnya untuk melindungi eksistensi hutan di Indonesia dari tindakan kejahatan (delik kehutanan). 

Ruslan Renggong (2018) menyatakan bahwa dalam rangka melindungi hutan sebagai paru-paru dunia dan tidak ternilai harganya, pemerintah telah merumuskan kebijakan perlindungan kehutanan melalui UU PPPH dengan tujuan menguatkan penegakan hukum kehutanan di luar undang-undang yang telah ada. Materi muatan dalam UU PPPH, selain mengatur upaya pencegahan, juga memuat perangkat norma dan sanksi pemidanaan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi meningkatnya praktik perusakan hutan dengan modus yang sangat sulit dideteksi tanpa aturan hukum yang tegas dan terperinci. 

Penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan sebenarnya bisa dijalankan secara maksimal oleh pemerintah melalui KLHK dan aparat penegak hukum dengan instrumen hukum yang sudah ada, baik dengan menggunakan UU PPLH yang bersifat umum (lex generalist), maupun menggunakan UU Kehutanan dan UU PPPH yang bersifat khusus (lex specialist), sehingga tujuan  pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 3 UU PPPH yang meliputi kepastian hukum dan memberikan efek jera bagi pelaku perusakan hutan, menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian dan tidak merusak lingkungan serta ekosistem sekitarnya, mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan dengan memperhatikan keseimbangan fungsi hutan guna terwujudnya masyarakat sejahtera, dan meningkatnya kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan benar-benar dilaksanakan dengan baik dan sesuai ekspektasi publik. (*).


*Advokat dan Dosen Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Madura (UIM);

Pengurus Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).

Bagikan:

Komentar