|
Menu Close Menu

Gender Inequality dan Kosmologi Mitos Agama

Senin, 15 April 2024 | 11.24 WIB



Lensajatim.id, Opini- Dalam sejarah klasik yang termaktub dalam kitab suci agama Islam dan Nasrani terdapat kisah Adam dan Hawa yang diyakini menjadi sebab musabab berkembangnya peradaban manusia di muka bumi. Secara umum dua kitab suci ini (Al-Qur'an dan Al-Kitab) sama-sama memaparkan bahwa Hawa adalah penyebab utama terhasutnya Adam melakukan kesalahan sehingga ditimpakan hukuman menurut versi kitab suci masing-masing.


Terlepas dari benar tidaknya kisah tersebut, perlu diperhatikan dampak sosial dari kisah yang ditafsir dan ditelan mentah-mentah oleh masyarakat. Imbasnya, hal ini menjadi salah satu faktor diskriminasi gender selama berabad-abad baik di dataran Eropa atau pun Timur Tengah yang sangat patriarki.


Literatur barat klasik sangat dipengaruhi oleh kisah dalam Bible tersebut yang menimbulkan sikap anti terhadap feminis (Katherine Usher Henderson dan Barbara F. McManus. 1985., Half Humankind, Chicago: University of Illinois Press; 3-7). Sedangkan di Timur Tengah hingga ke Asia yang mayoritas menganut Islam menemukan hukum-hukum fiqih yang timpang gender sehingga membatasi hak-hak perempuan.


Sesungguhnya bukan hanya agama langit (revealed religion), agama-agama bumi (philosophical religion) juga membicarakan permasalahan gender yang menyangkut hubungan antara lelaki dan perempuan dan hal tersebut sangat mempengaruhi sudut pandang penganutnya (Merry E. Wiesner-Hanks. 2001, Gender in History, Oxford: Blackwell Publisher; 114-137).


Sudut pandang inilah yang menjadi awal pembentukan adat, kebudayaan, dan peradaban. 


*Mengkritik Realitas Sosial*


Namun, ibarat dua mata pisau perempuan dan laki-laki dalam sistem patriarki sama-sama pernah mengalami ketimpangan. Dalam konteks ini laki-laki diberikan tanggung jawab penuh untuk menjadi pemimpin yang tangguh sehingga sejak kecil proses kehidupannya dituntut lebih keras, diberikan pekerjaan yang menguras tenaga, dan harus mandiri.


Sedangkan perempuan sebaliknya diperlakukan lebih manja sehingga tertanam mindset bahwa gender perempuan harus lemah lembut, tidak cocok dengan pekerjaan keras, dan harus paham kebutuhan domestik karena kelak akan menjadi ibu rumah tangga.


Maka tak jarang jika banyak perempuan yang mengamini patriarki karena nyaman diperlakukan lebih lemah dari laki-laki. Pemikiran tersebut tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar, sebab akan menjadi bibit ketimpangan gender. Meskipun didoktrin kuat, namun tidak sedikit laki-laki tertekan dengan realitas gender yang dikonstruk masyarakat dan lingkungan.


Secara historis, imbas dari hal tersebut adalah pembatasan pekerjaan perempuan di bidang publik yang menjadi isu klasik, bahkan di beberapa negara khususnya yang kental sistem patriarki, perempuan sangat dibatasi keluar rumah kecuali memakai pakaian yang sangat tertutup, karena khawatir menimbulkan fitnah dan maraknya peristiwa tak mengenakan.


Padahal jika ada korban tentu ada pelaku, herannya ketika terjadi peristiwa diskriminasi gender yang dibatasi aktivitas justru korban bukan merehabilitasi pelaku.


*Ilmu Sebagai Kunci Peradaban*


Selain gerakan feminis barat dan timur serta komunitas umum yang populer diperbincangkan sebagai pemerhati kesetaraan gender - mengutip dari buku Perempuan, Islam, dan Negara karya KH. Husein Muhammad dipaparkan, setidaknya lebih dari 10 organisasi dan komunitas feminisme yang lahir dari cendikiawan pesantren.

 

Dengan latar belakang pendidikan keagamaan yang kuat, mereka mengkaji, mengkritik, dan merelevansikan kitab klasik yang dinilai sangat diskriminatif terhadap hak-hak perempuan baik ketika menjadi anak ataupun saat menjadi istri dan ibu. Dengan mayoritas masyarakat yang masih menganut Islam tradisional dalil kitab diambil secara mentah sebagai pedoman kehidupan sehari-hari karena dianggap mewakili tafsir Al-Qur'an dan Hadist.


Melalui gerakan tersebut menjadi pucuk lahirnya feminisme pesantren yang membawa pencerahan terhadap perempuan muslimah. Hal ini adalah bukti bahwa peradaban ilmu hanya bisa dicapai ketika taraf pendidikan merata.


Sebagian besar orang sensitif jika berbicara feminisme, karena dianggap sebagai paham yang arogan menuntut persamaan dan cenderung pada perempuan, padahal di era modern, feminisme adalah pemerhati kesetaraan gender (baik itu laki-laki atau perempuan).


*Oleh: Aliya Zahra*

Mahasiswi TI Universitas Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, Madura.

Bagikan:

Komentar