Oleh : Moh. Roychan Fajar
Lensajatim.id, Opini- Kabupaten ujung timur Madura—selalu dianggap sebagai hamparan geografis yang gersang, kering, dan tak berharga. Tapi justru di balik narasi-narasi itulah, Sumenep terus menjadi rebutan. Karena ternyata, kabupaten dengan 126 pulau ini punya SDA yang berlimpah.
Ironinya, kekayaan alam ini bukan membuat penduduknya terangkis dari kemiskinan. Namun sebaliknya, Sumenep kini justru terbelit problem-problem ekologis: mulai dari perampasan ruang hidup, privatisasi pesisir dan lahan-lahan produktif, hingga penghancuran bukit-bukit kars. Memang tak banyak pihak yang menyadarinya, karena penghancuran alam ini dibungkus dengan sangat rapi oleh proyek pembangunan status quo.
Dengan kata lain, darurat ekologis yang tengah berlangsung di Sumenep saat ini, bukan begitu saja turun dari langit, tetapi melalui mekanisme-mekanisme elit dan politis yang beroperasi secara halus di balik jargon-jargon populis rezim yang kini tengah berkuasa: untuk ekonomi kerakyatan, menekan angka pengangguran, dst.
Krisis ekologi di Sumenep ini adalah persoalan struktural yang hanya bisa diselesaikan melalui perubahan tatanan ekonomi politik dan sistem pemerintahan. Masyarakat sipil kini tak boleh lagi kompromi dengan rezim yang secara terang-terangan menggelar “karpet merah” untuk para pemodal, dengan meletakkan kekayaan SDA Sumenep di atas etalase pasa bebas dunia.
Harapan baru untuk mewujudkan perubahan struktural ini adalah generasi muda atau gen-Z. Menjelang Pilkada 2024, tiba saatnya gen-Z mengintervensi ekosistem politik elektoral agar tidak selalu dibajak oleh tangan-tangan besi oligarki dan didikte oleh apa yang disebut Al-Qur’an (QS. Al-Hasyr: 7) dulatan bayna al-aghniya’ atau kekuasaan yang beredar di antara orang-orang kaya.
Politik harus kembali menjadi medium perjuangan merebut kedaulatan dan melestarikan lingkungan, bukan sekadar alat mempertahankan kekuasaan dan untuk melindungi kekayaan segelintir orang.
NB : Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Komentar