Moch. Kesan. (Dok/Istimewa). |
Oleh Moch Eksan
Lensajatim.id, Opini- Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto berasal dari keluarga bangsawan Jawa. Ayahnya, Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo adalah begawan ekonomi. Kakeknya, RM Margono Djojohadikusumo adalah pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) '46.
Prabowo lahir dan besar di tengah keluarga dengan status ekonomi yang mapan. Status ini ditopang oleh peran serta keluarga Djojohadikusumo dalam dunia politik sejak sebelum kemerdekaan sampai sekarang.
Soemitro seorang intelektual dan politisi yang pernah menjadi Menteri Perdagangan (1950-1951) pada Kabinet Muhammad Natsir, dan Menteri Keuangan (1952-1956) pada Kabinet Wilopo dan Burhanuddin Harahap pada era Presiden Soekarno.
Ekonom lulusan Nederlandsche Economische Hogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, Belanda, dituduh melakukan korupsi untuk dana kampanye Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada Pemilu 1955. Kemudian Soemitro bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera pada 1958.
Soemitro selama 10 tahun hidup dalam pelarian dari satu negara ke negara lain. Sebagai Menteri Perdagangan dan Komunikasi PRRI, ia menggalang dana dari luar untuk memback up perjuangan Sjafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri.
Soemitro tinggal luar negeri bersama dengan istri dan anaknya. Semula di Singapura, Hongkong, terus Malaysia, lalu Swiss dan selanjutnya di Inggris. Prabowo dan saudaranya menamatkan sekolah dasar dan menengah di negeri pengungsian.
Setelah Presiden Soekarno jatuh pada 1967, Presiden Soeharto meminta Ali Murtopo untuk memulangkan Soemitro bersama keluarga ke Tanah Air. Setibanya di dalam negeri, ia diangkat menjadi Menteri Perdagangan dan Industri (1968-1973), terus menjadi Menteri Riset (1973-1978).
Puncak hubungan baik Presiden Soeharto dengan Soemitro, dua tokoh bangsa ini menjalin hubungan besan. Prabowo menikah dengan Titiek Soeharto pada 1983. Pasangan ini memberikan satu orang cucu kesayangan kepada keluarga Djojohadikusumo, bernama Didit Prabowo.
Sementara itu, Margono adalah banker pejuang kemerdekaan. Ia salah satu dari 67 anggota Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk Jepang. Badan ini yang merumuskan Pancasila dan UUD 1945.
Lulusan Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (Sekolah pegawai negeri), Magelang, 1911 ini, oleh Presiden Soekarno diangkat menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pertama (25 September - 6 Nopember 1945), sebelum menjadi Direktur Utama BNI '46 (1946-1953).
Margono adalah cucu buyut dari Raden Tumenggung Banyakwide. Panglima perang Pangeran Diponogoro yang setia dalam perang Jawa. Banyakwide diangkat menjadi Bupati Roma dengan gelar Raden Tumenggung Kertanegara IV. Roma itu daerah Karanganyar Kebumen.
Bapak dari Margono adalah asisten Wedana Banyumas. Sebuah jabatan di era pemerintahan Hindia Belanda yang setara dengan camat kalau sekarang. Namanya Raden Mas Tumenggung Mangkuprojo.
Margono bersama dengan Siti Katoemi Wirodiharjo dikarunia 4 anak. Yaitu Soemitro, Seokartini, Soebianto dan Soejono. Dua putranya tewas pada pertempuran Lengkong, Tangerang Selatan, Banten.
Untuk mengenang, dua almarhum, Margono menyematkan nama kesatria pemberani itu pada dua putra Soemitro. Yaitu Prabowo Soebianto dan Hasyim Soejono.
Ternyata benar, dua nama Kusuma bangsa itu mengharumkan nama Prabowo dan Hasyim sebagai politisi militer dan pengusaha politisi yang patriotik. Kini, cucu Margono menjadi orang nomor satu di negeri yang ikut dibidaninya.
Almarhum Soemitro (83 tahun) dan Margono (84 tahun) pasti bangga di alam nirwana, ada putra terbaik Djojohadikusumo yang menjadi Indonesia-1 di usia 73. Berarti Nanti, pada saat 10 tahun pemerintahannya berjalan, Prabowo akan berusia 83 tahun.
Bukan hanya bagi keluarga Djojohadikusumo, usia 80-an itu sudah sangat rentan. Prabowo kehilangan ayah dan kakek yang disayang pada usia di bawah 85 tahun. Mertuanya yang presiden, Jenderal TNI (Purn) Soeharto, juga meninggal di usia 86 tahun.
Prabowo sebelum menyusul para leluhurnya di atas telah bertekad kuat untuk menjadi presiden yang husnul khatimah:
"Saya ingin sebelum saya meninggal, saya melihat Indonesia menjadi negara yang bermartabat, negara yang terhormat. Saya ingin lihat, tidak ada lagi kemiskinan di Republik Indonesia. Saya ingin lihat anak-anak Indonesia kuat, gembira, senyum, orang tuanya gembira. Saya memiliki cita-cita agar generasi penerus bangsa Indonesia dapat berdiri di atas kaki sendiri". Semoga!!!
Moch Eksan, adalah Pendiri Eksan Institute dan Penulis Buku "Kerikil Dibalik Sepatu Anies".
Komentar