(* Oleh : Tiara Sevi Nurmanita, S.Pd., M.Pd
Lensajatim.id, Opini- “Belajar dari mana saja” bukan sekadar slogan; frasa ini kian populer—terutama setelah pandemi Covid-19—dan semakin relevan di era ketika Generasi Alpha mendominasi sekolah. Sejak lahir, mereka telah akrab dengan teknologi digital, sehingga gawai, aplikasi pembelajaran, dan berbagai platform daring menjelma menjadi jembatan ilmu yang praktis sekaligus fleksibel: siapa pun dapat belajar kapan pun dan di mana pun.
Namun, bersandar sepenuhnya pada teknologi tidak otomatis membuat proses belajar lebih baik. Pembelajaran tetaplah tanggung jawab manusia; anak-anak perlu melihat dunia di luar layar—atau, meminjam istilah bahasa Inggris, touch the grass. Interaksi langsung dengan lingkungan memperkaya pengalaman mereka sekaligus mengasah keterampilan motorik, sosial, dan emosional. Dengan demikian, belajar tidak harus terpaku pada meja, papan tulis, atau dinding kelas, melainkan dapat berlangsung melalui pengalaman konkret yang bermakna.
Pengalaman Nyata sebagai Pusat Pembelajaran
Pendekatan pembelajaran kontekstual kerap menjadi favorit karena ramah diterapkan pada berbagai mata pelajaran tanpa selalu bergantung pada teknologi. Anak-anak tidak sekadar duduk mendengarkan ceramah guru; mereka terjun langsung mengamati lingkungan sekitar. Melalui pengalaman nyata, pemahaman terbentuk secara aktif—jauh lebih berkesan daripada hafalan semata.
Piaget (dalam Kolb, 1984) menegaskan bahwa anak belajar melalui interaksi aktif dengan lingkungannya; pengetahuan yang dikonstruksi sendiri akan lebih membekas daripada yang diperoleh secara pasif. Sejalan dengan itu, Komalasari (2017) memaparkan bahwa pembelajaran kontekstual membantu guru mengaitkan materi dengan situasi dunia nyata siswa, sehingga anak mampu menghubungkan pengetahuan dengan penerapannya.
Bermain sambil Belajar
Rasa ingin tahu adalah sifat alami anak yang perlu dikembangkan secara optimal. Aktivitas bermain kerap dianggap sekadar hiburan, padahal sejatinya itulah cara alami anak mengeksplorasi dunia, memecahkan masalah, membangun kerja sama, dan menumbuhkan kreativitas. Melibatkan mereka langsung di lingkungan sekitar—mulai taman, pasar, sawah, hingga pantai—membuat pembelajaran lebih kaya: selain menguasai konsep, anak melatih motorik, sosial, dan emosional.
Pembelajaran Menyenangkan dan Bermakna
Pembelajaran kontekstual identik dengan pembelajaran menyenangkan: suasana belajar yang kreatif, interaktif, dan positif. Ia tidak semata menimbulkan gelak tawa, tetapi membangkitkan semangat, rasa ingin tahu, serta keterlibatan emosional dan kognitif siswa. Abrori dkk. (2025) menegaskan bahwa lingkungan belajar yang menyenangkan meningkatkan motivasi dan antusiasme, sehingga proses belajar menjadi lebih bermakna.
Contoh konkret—misalnya saat bermain di pantai—menunjukkan bahwa di atas pasir dan diiringi debur ombak, anak-anak dapat belajar menghargai teman, mengamati ekosistem laut, serta melatih motorik mereka. Pembelajaran demikian memadukan kegembiraan dengan pengetahuan.
Belajar dari Pantai: Sebuah Jejak Edukasi
Gagasan “belajar dari mana saja” sejalan dengan prinsip Universitas Terbuka yang menekankan fleksibilitas. Tim Dosen Universitas Terbuka Surabaya akan mengimplementasikannya di Pantai Galung, Desa Juruan Daya, Kabupaten Sumenep. Pantai tersebut dioptimalkan sebagai sarana belajar kontekstual, sehingga berfungsi ganda: destinasi wisata sekaligus ruang bermain dan belajar bagi anak-anak.
(* Penulis adalah Dosen PGSD Universitas Terbuka
Rujukan
Abrori, F., Rosalina, & Lutfiana, A. F. (2025). Penerapan Pendekatan Joyful Learning untuk Meningkatkan Keterlibatan Siswa. Journal of Educational Research and Community Service, 1(1), 31–37.
Kolb, D. A. (1984). Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development. Prentice-Hall.
Komalasari, K. (2017). Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi. Refika Aditama.
Komentar