|
Menu Close Menu

Mohammad Supriyadi dan Senja Jogja: Sebuah Cerita di Antara Riuh dan Renung

Sabtu, 19 Juli 2025 | 20.00 WIB

Mohammad Supriyadi, Ketua Umum JAPNAS Jatim.(Dok/Istimewa). 
Lensajatim.id, Yogyakarta- Senja perlahan turun di langit Malioboro, membalut jalan legendaris ini dengan rona jingga yang menghangatkan hati. Di tengah hiruk-pikuk wisatawan dan deru kota yang tak pernah betul-betul sunyi, Mohammad Supriyadi, Ketua Umum JAPNAS Jawa Timur sekaligus Ketua Umum IKAWIGA memilih duduk tenang di salah satu sudut trotoar, menikmati satu cup Malio Gelato.


Bagi Supriyadi, ini bukan sekadar momen liburan. Ini adalah ruang kontemplasi, di mana derap langkah kota pelajar ini membawanya menyusuri ulang jalan kenangan, tentang masa muda, perjuangan, dan cita-cita yang kini mulai dituai.


"Jogja itu seperti cermin," ucapnya pelan, "ia tidak hanya menunjukkan wajah kita hari ini, tapi juga bayangan masa lalu yang pernah kita jalani," ucapnya, Sabtu (19/07/2025). 


Sambil menyantap gelato favoritnya, Supriyadi tersenyum ketika sebuah delman berhenti di hadapannya. Tanpa banyak bicara, ia naik. Derak roda kayu dan gemerincing lonceng seolah menjadi lagu nostalgia yang tak pernah basi. Angin Malioboro menyapa wajahnya, membawa serta aroma angkringan dan kenangan remaja yang perlahan terurai.


Sebagai sosok yang kini aktif memimpin dua organisasi besar, JAPNAS Jatim dan IKAWIGA, Supriyadi memang dikenal sebagai figur yang sibuk membangun jaringan ekonomi dan komunitas pengusaha muda. Tapi di balik kemeja formal dan aktivitas padatnya, ia tetap manusia biasa yang butuh jeda — dan Yogyakarta memberinya ruang itu.


“Kadang kita terlalu cepat berlari, lupa bahwa hidup juga perlu dinikmati perlahan. Seperti delman ini. Ia tak kencang, tapi ia membawa kita sampai,” katanya sambil memandang jalan yang dilintasi cahaya sore.


Kehadirannya di Jogja bukan hanya untuk rehat, tapi juga bentuk perjalanan pulang kepada dirinya sendiri. Dalam suasana santai dan tenang, ia kembali menyusun mimpi-mimpi baru, menyelaraskan langkah antara idealisme masa muda dan realitas kepemimpinan yang kini ia jalani.


Bersama senja, delman, dan gelato, Supriyadi seolah ingin mengingatkan: bahwa di tengah ambisi dan kesibukan, manusia tetap butuh kehangatan dan kesederhanaan. Sesuatu yang, menurutnya, hanya bisa ditemukan saat kita memperlambat langkah.


Jogja, sekali lagi, menjadi saksi bisu bahwa bahkan para pemimpin pun perlu ruang untuk merasa. Dan mungkin, perlu lebih banyak pemimpin yang tahu caranya diam sejenak — untuk kemudian kembali melangkah dengan hati yang lebih utuh. (Had) 

Bagikan:

Komentar