Oleh: H.A. Effendy Choirie
Ketua Umum DNIKS 2024–2029, Anggota DPR RI FPKB 1999–2013
Lensajatim.id, Opini- Kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia saat ini berada pada fase yang menuntut respons cepat, terarah, dan berpihak kepada rakyat. Dalam konteks tersebut, keputusan Menkeu Purbaya untuk mengalokasikan dana sebesar Rp200 triliun kepada bank-bank milik negara (Himbara: BRI, Mandiri, BNI, BTN) bersama Bank Syariah Indonesia (BSI) perlu dilihat bukan semata sebagai kebijakan perbankan, melainkan sebagai instrumen pembangunan sosial.
Esensi kebijakan ini adalah memperkuat fungsi intermediasi perbankan — mengubah simpanan menjadi kredit produktif — dengan cara yang lebih efektif, luas, dan inklusif, khususnya untuk pelaku usaha kecil, petani, nelayan, pekerja informal, serta keluarga berpendapatan rendah yang selama ini kesulitan mengakses pembiayaan.
Kebijakan ini akan bermakna jika mampu menjadi jembatan antara ruang fiskal negara dengan denyut nadi ekonomi rakyat. Latar fiskal 2024–2026 menampilkan upaya pemerintah menjaga pertumbuhan sekaligus stabilitas. Pendapatan negara diproyeksikan meningkat, sementara belanja diarahkan untuk memperkuat jaring pengaman sosial, infrastruktur dasar, dan pengembangan SDM. Dengan defisit yang menurun, ruang kebijakan harus digunakan selektif: setiap rupiah yang ditempatkan di sistem keuangan dituntut menghasilkan dampak sosial yang terukur.
Hubungan antara kebijakan fiskal (penempatan dana pemerintah) dan transmisi moneter (biaya dana, suku bunga, dan ketersediaan kredit) menjadi kunci. Bila likuiditas perbankan longgar tetapi tidak mengalir ke sektor produktif dan kelompok rentan, tujuan kesejahteraan sosial tidak akan tercapai.
Penempatan dana Rp200 triliun membangun tiga jalur transmisi utama:
1. Jalur likuiditas: memperbaiki struktur pendanaan bank sehingga biaya dana menurun dan ruang pemberian kredit melebar.
2. Jalur suku bunga dan margin: dengan biaya dana yang lebih rendah, bank dapat menurunkan harga kredit, khususnya KUR, kredit mikro, KPR subsidi, dan pembiayaan syariah setara murabahah/mudharabah.
3. Jalur akses dan cakupan: jaringan Himbara yang menjangkau desa serta BSI yang kuat di ekosistem ekonomi umat memungkinkan ekspansi pembiayaan ke kantong-kantong kemiskinan baru (urban poor) maupun lama (perdesaan).
Ketiga jalur ini hanya efektif bila disertai mekanisme penargetan presisi, tata kelola yang kuat, dan pengukuran hasil (outcome) yang transparan.
Himbara memikul mandat historis untuk membiayai UMKM, pertanian, perdagangan, dan perumahan rakyat. BRI unggul di mikro pedesaan; Mandiri pada korporasi dan rantai pasok; BNI pada perdagangan dan ekspor-impor; BTN pada pembiayaan perumahan. Integrasi BSI menambah dimensi inklusi keuangan syariah yang relevan bagi mayoritas penduduk.
Akad-akad syariah bukan hanya alternatif kontraktual, tetapi menawarkan kedekatan nilai dan rasa keadilan bagi pelaku usaha kecil. Ekosistem syariah juga membuka kanal filantropi (zakat, infaq, sedekah, wakaf) yang bisa dipadukan dengan pembiayaan produktif sehingga membentuk rantai kebermanfaatan: dari akses modal, pendampingan usaha, hingga perlindungan sosial berbasis komunitas.
Dampak kesejahteraan sosial dari kebijakan ini diharapkan muncul dalam beberapa dimensi:
Dimensi kemiskinan: perluasan pembiayaan UMKM yang tepat sasaran akan meningkatkan pendapatan rumah tangga dan menyerap tenaga kerja lokal.
Dimensi perumahan: KPR subsidi yang berkelanjutan memperbaiki kualitas hidup keluarga muda sekaligus mendorong sektor konstruksi padat karya.
Dimensi ekonomi syariah: pembiayaan BSI akan mendorong tumbuhnya ekosistem halal dan usaha berbasis komunitas pesantren/koperasi.
Namun, manfaat tersebut hanya nyata bila hambatan klasik seperti biaya transaksi tinggi, birokrasi berbelit, asimetri informasi, dan ketimpangan akses digital dapat diatasi melalui simplifikasi proses, digital onboarding, pendampingan usaha, serta skema penjaminan risiko bagi kelompok ultra-mikro.
Tiga risiko harus diantisipasi:
1. Misalokasi dana: bila porsi besar justru mengalir ke korporasi atau proyek minim dampak sosial, sedangkan pelaku mikro tetap tidak terlayani.
2. Moral hazard dan tata kelola: tekanan non-komersial bisa meningkatkan kredit bermasalah jika tanpa mitigasi risiko.
3. Eksklusi digital dan geografis: kelompok paling rentan justru tertinggal.
Mitigasi yang diperlukan mencakup kuota minimal pembiayaan UMKM dan MBR, skema penjaminan dan subsidi margin berjenjang, audit kinerja berbasis outcome sosial, serta kemitraan dengan organisasi masyarakat sipil (termasuk DNIKS) untuk pendampingan dan pengawasan partisipatif.
Agar kebijakan benar-benar berdampak, tata kelola harus memindahkan fokus dari sekadar penyerapan (output) ke hasil (outcome). Pemerintah dan perbankan perlu menyepakati indikator kunci: kenaikan jumlah UMKM naik kelas, penciptaan kerja lokal, penurunan kemiskinan ekstrem, rumah layak huni yang terbangun, serta pembiayaan syariah untuk usaha kecil perempuan dan pemuda.
Pelaporan triwulanan yang terbuka—memuat sebaran wilayah, sektor, gender, dan status sosial—akan memperkuat akuntabilitas. Penggunaan data terpadu (DTKS, data UMKM, data ketenagakerjaan, dan ekosistem filantropi) memungkinkan penargetan yang adil dan menghindari tumpang tindih.
Roadmap implementasi 12–24 bulan:
Fase I (0–6 bulan): penguatan likuiditas, penurunan biaya dana, penyederhanaan prosedur, dan peluncuran skema penjaminan ultra-mikro dengan plafon kecil dan tenor fleksibel.
Fase II (6–12 bulan): perluasan pembiayaan sektor tradable (pertanian, perikanan, manufaktur kecil), akselerasi KPR subsidi, integrasi kanal syariah dengan program zakat-wakaf produktif.
Fase III (12–24 bulan): konsolidasi kualitas portofolio, pemanfaatan data kredit alternatif, penguatan pasar tenaga kerja lokal melalui kemitraan dengan pemerintah daerah, BUMDes, dan lembaga pendidikan/kejuruan.
Setiap fase menuntut evaluasi berbasis data dan koreksi kebijakan yang cepat.
“Dana besar hanya bermakna bila menjadi jembatan mobilitas sosial. Ukur keberhasilan dari keluarga yang keluar dari kemiskinan, bukan sekadar dari banyaknya kredit yang tersalurkan.”
Infografis Distribusi Dana
Infografis Dampak Sosial-Ekonomi
Komentar