|
Menu Close Menu

Pelajaran dari Commodus: Kaisar Runtuh karena Orang-Orang Terdekatnya

Kamis, 18 September 2025 | 16.37 WIB

H.Musaffa' Safril dalam sebuah acara.(Dok/Istimewa).

Oleh: H. Musaffa' Safril 

(Ketua PW GP Ansor Jawa Timur)


Lensajatim.id, Opini- Commodus, putra Marcus Aurelius, naik tahta sebagai kaisar Romawi pada tahun 180 M. Ia mewarisi sebuah imperium yang luas, kokoh, dan disegani dunia. Namun berbeda dengan ayahnya yang dikenal sebagai filsuf-stoik sekaligus pemimpin bijak, Commodus lebih tertarik pada arena gladiator ketimbang urusan qnegara, anti kritik. Ia sibuk dengan seremonial penuh pencitraan, tetapi manfaatnya bagi rakyat tak terasa.


Lambat laun, roda pemerintahan tak lagi digerakkan oleh visi seorang kaisar. Kendali negara beralih ke tangan orang-orang di sekelilingnya: para kasim istana, pejabat ambisius, orang-orang terdekatnya yg rakus, hingga kesenangan pribadi yang hanya mengejar keuntungan. Mereka memperkaya diri, mempermainkan kebijakan, dan mengeksploitasi kelemahan sang kaisar. Kekaisaran yang seharusnya dijaga dengan disiplin justru berubah menjadi panggung kepentingan pribadi.


Commodus semakin tenggelam dalam pesta, hiburan, dan pertunjukan darah di arena. Kekuasaan besar yang diwarisinya luluh lantak oleh kelengahan dan tipu daya orang-orang dekat. Pada akhirnya, ia sendiri tewas dalam konspirasi istana, dibunuh oleh mereka yang dahulu bersumpah setia.


Kisah Commodus bukanlah catatan usang dari sejarah kelam Romawi. Ia adalah alarm yang selalu hidup: betapa berbahayanya seorang pemimpin yang membiarkan dirinya dikuasai oleh pembisik. Sejarah membuktikan, kehancuran kerap bukan datang dari musuh di luar tembok, melainkan dari lingkaran terdekat yang meracuni keputusan.


Gema kisah itu masih terasa hingga kini, dalam dunia politik, organisasi, bahkan pemerintahan modern. Seorang pemimpin bisa saja lahir dari garis yang kuat dan membawa harapan besar. Namun bila ia lebih sibuk mendengar bisikan kepentingan pribadi daripada suara rakyat, yang tersisa hanyalah panggung sandiwara: rakyat menonton, negara melemah, dan sejarah kembali berulang.


Dari Commodus kita belajar: kepemimpinan sejati menuntut keberanian untuk memilih kebenaran, meski bisikan di telinga sering terdengar lebih manis daripada suara nurani.


Selamat menikmati.

Bagikan:

Komentar