|
Menu Close Menu

Samuel Ditangkap, Senator Lia Istifhama Apresiasi Kinerja Polisi dan Desak Pendalaman Peran Notaris

Selasa, 30 Desember 2025 | 19.14 WIB

Ning Lia Istifhama, Anggota DPD RI asal Jatim.(Dok/Istimewa). 
Lensajatim.id, Surabaya — Penangkapan Samuel Ardi Kristanto oleh Polda Jawa Timur dalam kasus pengusiran Nenek Elina, lansia yang viral setelah terusir dari rumah yang telah ditempatinya selama puluhan tahun, mendapat apresiasi dari Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Lia Istifhama. Namun demikian, ia menegaskan bahwa proses hukum tidak boleh berhenti pada pelaku lapangan semata.


Senator yang akrab disapa Ning Lia tersebut menilai, kasus Nenek Elina merupakan potret klasik praktik mafia tanah yang kerap menimpa warga rentan. Ia mengingatkan masyarakat agar tidak terjebak konflik horizontal dan tetap fokus mengawal pengungkapan aktor intelektual di balik peristiwa tersebut.


“Yang harus menjadi perhatian utama adalah siapa dalang di balik kejahatan ini. Ada pengusiran, lalu muncul pihak yang mengaku membeli rumah. Pertanyaannya, mengapa pemilik tidak merasa menjual, tetapi ada yang merasa membeli? Di situlah pola mafia tanah bekerja,” tegas Ning Lia.


Menurutnya, kasus seperti yang dialami Nenek Elina bukan peristiwa tunggal. Banyak kasus serupa terjadi dengan pola hampir sama, yakni pemilik sah tetap menempati rumahnya, sementara pihak lain tiba-tiba mengklaim kepemilikan melalui dokumen tertentu.


“Ini persoalan sistemik. Ada banyak ‘Nenek Elina’ lain di luar sana. Karena itu, penanganannya harus komprehensif dan menyentuh akar masalah,” ujar Senator Jatim yang juga dikenal sebagai Wakil Rakyat Terpopuler versi ARCI tersebut.


Ning Lia juga mengingatkan publik agar tidak mudah terpancing emosi dan terjebak dalam konflik antarwarga. Menurutnya, mafia tanah kerap memanfaatkan situasi dengan menempatkan korban dan pihak tertentu saling berhadapan, sementara aktor utama justru bersembunyi di balik rangkaian perikatan hukum.


“Jangan sampai masyarakat diadu domba. Fokus kita harus pada siapa yang menyuruh pengusiran, siapa yang mengklaim pembelian, dan apakah transaksi itu sah, jujur, serta sesuai hukum,” jelas alumnus program doktoral UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut. 


Dalam konteks penegakan hukum, Ning Lia mengapresiasi langkah cepat Polda Jatim yang telah mengamankan Samuel. Namun, ia mendorong agar penyidik menelusuri seluruh rangkaian perikatan hukum secara menyeluruh, termasuk peran notaris yang terlibat.


“Notaris memiliki tanggung jawab profesional dan etik. Jika ada indikasi penyalahgunaan akta atau rekayasa perikatan, maka harus diperiksa secara objektif. Kejahatan tidak boleh berlindung di balik formalitas dokumen,” tegasnya.


Pernyataan tersebut, menurut Ning Lia, juga berangkat dari pengalaman pribadi keluarga besarnya yang pernah menghadapi perkara serupa. Dalam kasus itu, hubungan hukum yang terjadi sejatinya adalah utang-piutang dengan jaminan sertifikat, namun dikonstruksikan seolah-olah sebagai jual beli tanah dan bangunan.


Fakta tersebut telah ditegaskan melalui putusan pengadilan berjenjang, mulai dari Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Tinggi Surabaya, hingga Mahkamah Agung RI melalui Putusan Nomor 3943 K/Pdt/2023. Mahkamah Agung menyatakan Akta Pengikatan Jual Beli (APJB) dan Kuasa Menjual yang disengketakan bukan bukti jual beli, melainkan bagian dari konstruksi utang-piutang dengan jaminan.


“Kalau benar jual beli, mengapa rumah tidak pernah ditempati pembeli dan tetap dihuni pemilik sah hingga akhirnya diusir?” ujarnya.



Belajar dari berbagai kasus tersebut, Ning Lia meminta aparat penegak hukum menindak mafia tanah dari hulunya, termasuk oknum perantara, dugaan penyalahgunaan akta, hingga rekayasa transaksi. Ia juga menekankan pentingnya kehadiran negara untuk melindungi warga rentan, khususnya lansia dan masyarakat kecil.


“Ini bukan semata sengketa tanah, tetapi soal keadilan sosial dan kemanusiaan. Negara harus hadir dan memastikan hukum ditegakkan secara adil, tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” pungkasnya.


Seperti diketahui, kasus Nenek Elina Widjajanti (80), warga Dukuh Kuwukan, Kelurahan Lontar, Surabaya, menjadi perhatian publik setelah rumah yang ditempatinya sejak 2011 dirobohkan secara paksa. Saat ini, Polda Jawa Timur masih terus mendalami perkara tersebut untuk mengungkap pihak-pihak yang bertanggung jawab. (Red) 

Bagikan:

Komentar