|
Menu Close Menu

Social Influencer dalam Perang Media Sosial

Minggu, 24 Januari 2021 | 19.13 WIB



Oleh Moch Eksan


Sebelum saya aktif di partai, saya pernah menulis artikel berjudul: "PDIP dan Masa Tradisional" di Harian Sinar Harapan pada 2004. Harian ini terbit 1965, pernah dibredel oleh pemerintah 1986, terbit kembali 2001, dan kini sudah tak terbit sejak 2016. 


Artikel tersebut menjadi referensi DF Sjoraida, A Asmawi dan RK Anwar dalam penulisan jurnal, "The Spirit of Democracy in The Implementation of Public Information Policy at The Provencial Government of West Java", pada 2018. 


Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad tersebut, mengutip pendapat saya. "it is explained that: "in countries where democratic transition occurs, the voters tend to be traditional, articulate their aspirations on the basis of one's charismatic qualification and ideological ties, and are rarely based on party's programs "(in Eksan, 2004)". 


Artinya: "Dijelaskan bahwa: “di negara-negara yang terjadi transisi demokrasi, pemilihnya cenderung tradisional, mengartikulasikan aspirasinya berdasarkan kualifikasi karismatik dan ikatan ideologis seseorang, dan jarang berdasarkan program partai” (dalam Eksan, 2004)". 


Kutipan pendapat di atas menarik, bukan karena pendapat saya dan pendapat itu masih relevan, akan tetapi menunjukkan kerja pemikiran menembus batas ruang dan waktu. Benar kata Sayyid Quthub, seorang ideolog Ikhwanul Muslimin Mesir, penulis Tafsir Fi Dhilalil Quran yang mengatakan, satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu tulisan bisa menembus jutaan kepala.


Kaisar Titus di hadapan Senat Romawi pada abad ke-1 Masehi, mengatakan verba volant, scripta manent (kata-kata lisan terbang, sementara tulisan menetap). Peribahasa Italia ini menegaskan bahwa kata-kata lisan dapat dilupakan dengan mudah, tetapi tulisan-tulisan akan tetap ada. 


Lebih dari itu, Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin di bab Ilmu mengungkapkan, bahwa tinta dari pena penulis kelak akan ditimbang di hari kiamat dengan darah dari para syuhada di medan perang. 


Bahkan, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan, bahwa setetes tinta dari penulis lebih utama daripada setetes darah syuhada. Beberapa ungkapan hikmah tersebut, mengisyaratkan keutamaan perang qolam dalam media sosial.


Social influencer adalah aktivis media sosial yang menggunakan media sebagai sarana pembentukan opini, menggerakan masyarakat melakukan atau tidak sesuatu. Mereka para facebooker, twitter,  instagramer, youtuber dan semacamnya, yang aktif membuat dan menyebarkan konten kreatif di media.


Setiap status, twitt, gambar, dan video adalah "peluru". Sementara, medan perang adalah media. Dan,  tentaranya adalah social influencer itu sendiri. Di pundak mereka,  misi perjuangan agama dan bangsa, dipikul untuk kejayaan umat dan negara di masa yang akan datang.


Moch Eksan,  Pendiri Eksan Institute

Bagikan:

Komentar