|
Menu Close Menu

Hendy, Mayday dan Magang Mandiri

Sabtu, 01 Mei 2021 | 19.12 WIB

 


Oleh : Moch Eksan


Opini- Bupati Ir H Hendy Siswanto tak ujug-ujug jadi Bupati Jember. Juga tak tiba-tiba jadi pengusaha sukses dan birokrat berprestasi. Jauh sebelum berkarir sebagai aparatur sipil negara (ASN), ia pernah bekerja sebagai 'buruh' di perusahaan konstruksi. Sambil kuliah di Fakultas Tehnik Universitas Mochammad Sroedji, selepas lulus STM Negeri Jember, ia menjadi buruh proyek pembuatan pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).


Pahit getir pengalaman hidup Bupati Hendy teresebut seringkali diceritakan dalam berbagai kesempatan untuk memotivasi anak Jember. Bahwa kesuksesan itu butuh kerja keras, kerja tuntas, kerja cerdas dan kerja ikhlas. Ia sudah mengalami up and down kehidupan, yang telah menempanya menjadi  sosok bermental baja, dan tak mudah menyerah.


Pengalaman sebagai 'buruh proyek', pasti merasakan suka duka bekerja kepada orang lain. Sebagai ASN juga jelas meniti karier dari bawah sampai di berbagai posisi penting sebagai pejabat di Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan. Hingga, ia akhirnya pensiun dini pada 2016.


Pada 1 Mei 2021, Mayday, Hari Buruh Internasional, pasti menyentil alam bawah sadarnya, betapa nasib buruh Jember ada di pundak Bupati Hendy sekarang. Pemerintah dalam  hubungan industrial merupakan regulator ketenagakerjaan. Kepentingan buruh  dan pengusaha wajib sama-sama diakomodir demi kemajuan daerah.


Jember butuh percepatan untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lain. Karena itu, hubungan harmonis antara pengusaha dan buruh, sangat menentukan. Bagaimana Jember menjadi 'surga' bagi investasi dan tenaga kerja. Pengalaman Bupati Hendy sebagai pengusaha dan buruh, merupakan modal dasar menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan usaha dan bisnis serta ketenagakerjaan.


Disamping sebagai the big bos dari pegawai Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember, Bupati Hendy telah melakukan terobosan baru dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) bagi guru tidak tetap (GTT) dan pegawai tidak tetap (PTT), sekaligus menaikkan gajinya. Keputusan ini merupakan kebijakan 'pecah telor' dari kebuntuan harapan dan larangan pengangkatan honorer baru.


Namun di balik euforia kegembiraan para guru dan pegawai tidak tetap di atas, ada perasaan 'cemburu' dari   tenaga magang mandiri. Harapan perbaikan status dan kesejahteraan pupus dengan keluarnya Surat Penugasan (SP) Nomor: 800/91.27/311/2021 tertanggal 4 Januari 2021. SP ini baru diserah-terimakan beberapa minggu terakhir ini.


Istilah tenaga 'magang mandiri' sangat musykilat dalam Undung-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Begitu pula ditinjau dari pandangan Undang-undang 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan.


Pertama, istilah magang itu terkait dengan pendidikan dan latihan kerja, sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 11 dan Pasal 21- 30 Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.


Ketentuan di atas diatur lebih rinci di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 22/2009 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri. Bahwasannya magang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kerja, baik dari aspek pengetahuan, keterampilan, keahlian dan sikap kerja. 


Peserta magang bisa pencari kerja, siswa lembaga pelatihan kerja dan tenaga kerja. Mereka berusia sekurang-kurangnya 18 tahun. Jangka waktu magang paling lama 1 tahun dan tak diperbolehkan menjadi peserta kembali pada program magang yang sama, sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 7, Pasal 7 angka (4) dan Pasal 10  Pemennakertrans tersebut.


Pembatasan jangka waktu magang bisa dipahami, sebab 1 tahun dirasa cukup untuk mengantongi sertifikasi kompetensi dan kualifikasi sesuai kebutuhan industri tenaga kerja. Selain, alasan keterbatasan anggaran dan pemerataan. Peserta magang, selain mendapat sertifikat, juga dapat fasilitas jaminan keselamatan dan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja dan kematian, serta uang saku dan/atau transport, seperti yang diatur pada Pasal 14 dan 15 dalam Permen yang sama.


Jadi, nomenklatur tenaga magang mandiri di 50 Puskemas se-kabupaten Jember, sangat ganjil. Sebab, banyak tenaga magang mandiri itu sudah bekerja di PKM di atas 2 tahun lebih. Bahkan ada yang sudah bekerja 32 tahun. Mayoritas mereka bekerja sudah puluhan tahun. Status tenaga honorer yang disandang sebelum 2017 didown-grade menjadi tenaga magang mandiri setelah 2017. Sebuah balada dari 1000 lebih tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) milik pemerintah itu.


Kedua, istilah magang juga tak ditemukan pada Undang-undang Nomor 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan. Pada Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 dan 2 , tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri pada bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan latar belakang pendidikan yang sama atau di atas jenjang pendidikan diploma 3 (D-3). Juga, ada asisten tenaga kesehatan tapi dengan kualifikasi jenjang pendidikan di bawah D-3.


Tenaga kesehatan dikelompokkan pada tenaga medis, tenaga psikologi klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian,

tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan,

tenaga gizi,

tenaga keterapian fisik,

tenaga keteknisian medis,

tenaga teknik biomedika, tenaga kesehatan tradisional, dan

tenaga kesehatan lain.


Penempatan tenaga kesehatan tersebut dilakukan melalui: pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), serta melalui penugasan khusus, seperti yang tertuang dalam Pasal 11 dan Pasal 23 UU Tenaga Kesehatan.


Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 67/2019 tentang Pengelolaan Tenaga Kesehatan, sebagai penjabaran UU Tenaga Kesehatan tersebut, pengadaan tenaga kesehatan oleh perguruan tinggi, didayagunakan melalui penempatan sebagai PNS, P3K, penugasan khusus, wajib kerja, ikatan dinas dan pemidahtugasan tenaga kesehatan.


Barangkali, tenaga magang mandiri berada dalam ruang lingkup penempatan penugasan khusus tenaga kesehatan. Rumah sakit (RS) kabupaten/kota yang membutuhkan pelayanan medis spesifik serta pelayanan kesehatan lainnya dapat menempatkan mereka, baik berbasis tim maupun individu pada pusat pelayanan kesehatan. Pemerintah daerah wajib menyediakan sarana prasarana, tentu sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing.


Penugasan khusus tenaga kesehatan berhak atas gaji, insentif dan jasa pelayanan. Hak gaji khusus bagi PNS, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 angka (1) dan angka (2) huruf c dan d, juga diatur pada Pasal 21, Pasal 22 angka (1), dan Pasal 33 dari PP Pengelolaan Tenaga Kesehatan tersebut.


Jadi, sangat clear ditinjau dari peraturan perundangan tenaga kesehatan, nomenklatur magang mandiri tidak ada. Yang ada adalah penugasan khusus tenaga kesehatan. Boleh jadi, bidan, perawat, administrasi umum dan tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas, ditempatkan penugasan khusus tenaga kesehatan yang dimaksud.


Ketiga, memang tenaga magang mandiri tak menerima gaji, mereka mendapatkan jasa pelayanan yang bersumber dari dana kapitasi. Dana yang dialokasikan berdasarkan jumlah kepesertaan Badan Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (BPJS) Kesehatan.


Ironis, nomenklatur tenaga magang mandiri lagi-lagi tak ditemukan. Pada Pasal 4 angka (1) dan angka (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21/2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.


"(1) Alokasi Dana Kapitasi untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dimanfaatkan untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan bagi tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan yang melakukan pelayanan pada FKTP.


(2) Tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Pegawai Negeri Sipil, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, dan pegawai tidak tetap, yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".


Jadi, Permenkes di atas menggunakan istilah PTT  yang juga berhak mendapatkan dana jasa pelayanan kesehatan. Sama sekali bukan dengan istilah tenaga magang mandiri. Tentu besar kecilnya dana jasa pelayanan kesehatan yang diterima sesuai dengan status, jabatan, tugas tambahan dan lama kerja.


Oleh karena itu, di tengah para pekerja seantero jagad dan Jember khususnya merayakan Hari Buruh Dunia, Bupati Hendy punya pekerjaan rumah untuk membereskan status tenaga magang mandiri dalam pengelolaan tenaga kesehatan.  Memang peninjauan SP Kadinkes beresiko pada anggaran daerah. Berupa pemberian insentif kepada mereka, namun demi memenuhi janji kampanye pada Pilbup 2020, kebijakan ini harus ditempuh demi perbaikan status dan kesejahteraan para tenaga kesehatan yang berada ujung tombak pelayanan. Semoga!.


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Bagikan:

Komentar