|
Menu Close Menu

Jember dalam Gelombang Gerakan Reformasi 1998

Kamis, 20 Mei 2021 | 10.21 WIB



Oleh Moch Eksan


Opini- Pada Mei 1998, saya sudah semester akhir di Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jember. Waktu itu, kota ini merupakan salah satu kota penting dari gerakan reformasi 1998. Disini, banyak mahasiswa sedang kuliah dari dalam maupun luar kabupaten Jember. Bahkan banyak juga yang berasal dari luar pulau Jawa.


Banyak aktivis mahasiswa intra dan ekstra kampus yang berasal dari Universitas Jember, STAIN, Universitas Muhamadiyah Jember, Universitas Islam Jember, Universitas Mochammad Sroedji, IKIP PGRI, STIE Mandala, STIPER Jember, STIA Pembangunan, dan beberapa akademi lainnya. Sebagai pusat Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS), Jember merupakan salah satu pusat gerakan mahasiswa di Jawa Jimur disamping Surabaya dan Malang. Sehingga, pada masa krisis itu, mahasiswa Jember tak ketinggalan juga melakukan demonstrasi menentang rezim Soeharto yang baru terpilih kembali periode ketujuh dalam sidang umum MPR pada 10 Maret 1998.


Kendati Jember hanya daerah setingkat kabupaten,  di dekade 90-an, ada Ketua Umum Mahasiswa ekstra kampus berasal dari Jember. Ada Bung Kristiya Kartika Ketua Presidium GMNI (1986-1992), Cak Ali Masykur Musa menjadi Ketua Umum PB PMII (1991-1994), selanjutnya Bang Taufik Hidayat sebagai PB HMI (1995-1997). Posisi puncak aktivis mahasiswa ekstra kampus tersebut harus dibaca sebagai mata rantai gerakan reformasi mahasiswa.


Keberadaan Bung Kristiya, Cak Ali dan Bang Taufik di panggung nasional bisa dibaca sebagai representasi mahasiswa Jember yang berperan serta sebagai "mentor" gerakan reformasi mahasiswa. GMNI, PMII dan HMI terbukti terlibat aktif sebagai motor penggerak ideologi dan sosial mahasiswa dalam aksi pendudukan gedung DPR/MPR.


Sejarah mencatat, aksi demonstrasi mahasiswa Jember, Malang, Surabaya, Semarang, Solo, Yogyakarta, Bandung, Bogor, Jakarta dan kota-kota besar lain, yang memaksa Presiden Soeharto mundur pada Kamis, 21 Mei 1998. Momentum lengser keprabon penguasa Orde Baru menandai perubahan besar negeri ini. Tanpa gerakan mahasiswa tersebut, Indonesia tak akan seperti sekarang. Jember pun tak terkecuali.


Mahasiswa angkatan 1998, mayoritas ikut turun ke jalan, menuntut agenda reformasi. Antara lain: mengadili Soeharto dan kroni-kroninya, melaksanakan amandemen UUD 1945, menghapus dwifungsi ABRI, melaksanakan otonomi daerah seluas-luasnya, menegakkan supremasi hukum, dan menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).


Saya dan mahasiswa 1998 bukan sekadar saksi peristiwa tapi saksi pelaku dari sejarah reformasi Indonesia. Jember dapat menikmati otonomi daerah, tentu dengan kelebihan dan kekurangannya, ada investasi moral force (gerakan moral) mahasiswa di atas. Mereka meregang nyawa menghadapi moncong senjata aparat keamanan yang represif. Ada di antara mereka yang luka terkena pentungan, dan ada pula yang tewas di medan jihad reformasi.


Di Jakarta, ada 6 mahasiswa Universitas Trisaksi yang terkena peluru tajam. 4 tewas sebagai syuhada reformasi dan 2 luka-luka. Mereka terdiri dari: Elang Mulia Lesmana (Fakultas Arsitektur, angkatan 1996), Alan Mulyadi (Fakultas Ekonomi, angkatan '96), Heri Heriyanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin, angkatan '95), Hendriawan (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen, angkatan '96), Vero (Fakultas Ekonomi, angkatan '96), Hafidi Alifidin (Fakultas Teknik Sipil, angkatan '95).


Semua harus menyadari, Era Reformasi ini harus dibayar dengan darah mahasiswa sebagai inti kekuatan pemuda. Pasca Tragedi Trisakti Selasa, 12 Mei 1998, di Jakarta, Medan, Solo dan kota besar lainnya, terjadi kerusuhan massal. Banyak terjadi penjarahan di toko-toko China, dan pelecahan seksual terhadap 85 korban. Sejarah kelam tak ubahnya dengan peristiwa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru.


Cukup sudah peristiwa 1966 dan 1998 menjadi sejarah kelam. Proses perubahan besar tak boleh lagi mengulangi hal yang sama. Darah anak bangsa jangan sampai menjadi martir perubahan. Transisi politik terlalu mahal dibayar dengan pertikaian berdarah antar anak bangsa. Indonesia membutuhkan jalan damai. Jalan demokrasi menjamin sirkulasi elite penguasa tanpa kekerasan. Ini modal besar dari democratic civility yang akan mengantarkan Indonesia raya pada cita-cita proklamasi.


Jember selama ini menjadi center of excellence dari kekuatan intelektual dan moral force dalam berbagai peristiwa besar di republik ini. Sebuah kota yang menjadi kawah candradimuka bagi para aktivis pemikir pejuang dan pejuang pemikir yang menyelaraskan iman, ilmu, dan amal, serta memadukan dzikir, fikir dan amal Sholeh.


Para mahasiswa PTN/PTS Jember telah menjadi salah satu sumber inspirasi reformasi  Indonesia. Kedepan dalam konteks lokal, mahasiswa Jember diharapkan menjadi sumber daya insani pembangunan daerah. Di periode Bupati H Hendy dan Wakil Bupati Gus firjaun, Jember ini sedang berbenah diri untuk bangkit menyongsong Jember Emas 2029.


Mengakhiri tulisan ini, saya sampaikan pendapat Edward W Said dalam bukunya "Peran Intelektual". Ia menyatakan, seorang intelektual adalah pencipta bahasa kebenaran di hadapan penguasa. Dosa besar seorang intelektual yang tak menyuarakan kenyataan secara benar dan mengabdi pada kepentingan penguasa semata. Intelektual berperan dalam rahim demokrasi sebagai oposisi kebenaran daripada mengakomodasi kepentingan.


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute

Bagikan:

Komentar