|
Menu Close Menu

Andai Menjadi Penguasa di Era Pandemi?

Senin, 28 Juni 2021 | 13.06 WIB



Oleh Moch Eksan


Opini- Banyak orang ingin jadi penguasa. Namun tak semua bisa menggapai cita-cita itu. Seorang harus melewati proses pemilu yang menguras tenaga, fikiran dan uang. Kompetisi politik yang bukan sekadar mengadu gagasan tetapi juga rekam jejak. Dan terkadang tragis, perjalanan hidup dikuliti tanpa privasi sedikit pun. Bahkan, lawan politik melakukan character assassination (pembunuhan karakter) tak peduli bagaimana perasaan keluarga dan pendukungnya.


Dunia politik bagaikan hutan rimba yang lebih kejam dan sadis dari hukum rimba itu sendiri. Bagi yang tak siap. Jangan pernah mencoba, alih-alih dapat apresiasi, justru terus menerus dibully. Jadi presiden layaknya Joko Widodo, gubernur kayak Khofifah Indar Parawansa, atau bupati seperti Hendy Siswanto, pasti serba salah. Berbuat benar saja bisa salah. Apalagi bertindak salah. Sudah tentu menjadi amunisi lawan politik untuk menyerang tanpa ampun.


Inilah resiko menjadi penguasa di era demokrasi dan disrupsi media massa. Siapa pun bisa mengatakan apa pun tanpa sensor.   Rezim jurnalisme tergerus oleh citizen journalism (jurnalisme warga). Arus informasi mengalir tanpa kendali kode etik jurnalistik sekalipun. Sehingga ruang informasi penuh hoax, dan hate speech (ujaran kebencian).


Kebenaran bercampur-aduk. Kualitas informasi sangat buruk. Publik tak cukup waktu untuk memilah kabar. Pemerintah nampak tak berwibawa. Rakyat disungguhi narasi dan kontranarasi kebijakan. Banyak keputusan tak berjalan efektif. Tatanan dunia dilanda ketidakpastian.


MENJADI KAMBING HITAM

Penguasa di era pandemi Covid-19 adalah kelompok rentan menjadi kambing hitam. Kesalahan dan kegagalan dalam pemberantasan Virus Corona selalu dialamatkan kepada pemerintah berkuasa. Masyarakat jarang yang mau mengakui andil memperburuk keadaan. Peningkatan jumlah kasus positif terus meningkat. Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) merilis data per 27 Juni 2021, ada 2.115.305 positif, 1.850.481 sembuh, dan 57.138 meninggal.


Peningkatan jumlah kasus sejatinya terkait dengan tiga hal berikut:


Pertama, kebijakan setengah hati pemerintah. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM) tak disertai dengan larangan berkerumun yang tegas. Pasar, mall, tempat wisata bebas dengan alasan ekonomi.


Kedua, keteladanan pejabat yang kurang dalam mematuhi protokol kesehatan (Prokes). Wabilkhusus dalam menerapkan 5 M (Memakai masker, Mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, Menjaga jarak, Menjauhi kerumunan, serta Membatasi mobilisasi dan interaksi). Banyak pejabat justru berkerumun, serta dengan mobilitas dan interaksi sosial yang tinggi.


Ketiga, perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap prokes. Tuntutan ekonomi membuat mereka pergi berjualan ke pasar. Tuntutan sosial memaksa mereka datang ke acara pernikahan, pengajian dan pertemuan. Parahnya, di lingkungan masyarakat bawah jarang yang bermasker dan cuci tangan. Mereka sudah menganggap biasa dan tak ada rasa takut terinveksi virus mematikan tersebut. Bila terjangkit, maka dianggap nasib lagi apes saja.


BALADA POLITISI

Kondisi di atas mempersulit ikhtiar pemerintah memutus mata rantai penyebaran virus asal Wuhan China tersebut. Sementara,  masyarakat sebagian mengalami krisis kepercayaaan terhadap program vaksinasi. Kasus Fadli Zon dan Khofifah misalnya yang postif Covid-19 untuk kedua kali, membuat ketidakpercayaan terhadap efektivitas program vaksinasi untuk bangkit dari pandemi global.


Padahal, Fadli maupun Khofifah sudah melakukan vaksinasi Sinovac. Ternyata, dua public figure ini tak bisa meretas mata rantai penyebaran virus terhadap tubuhnya sendiri. Wajar, masyarakat mengalami hopeless (putus harapan) terhadap kehidupan new normal pasca pandemi. Publik punya ekspektasi yang tinggi terhadap kesuksesan program vaksinasi, namun realisasinya jauh dari harapan.


Dalam wawancara Interaktif dengan Radio Elshinta Jakarta, Sabtu, 19 Juni 2021, pukul 13.15 WIB, Nur Yasin, Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), mengungkapkan data dengan sangat gamblang. Bahwasanya, pemerintah dan DPR RI sudah menyepakati untuk mempercepat program vaksinasi dari semula 15 bulan menjadi 12 bulan. Diharapkan, per Desember 2021, 181,5 juta atau setara 70 persen dari 271,3 juta penduduk Indonesia, sudah melakukan vaksinasi.


Untuk memenuhi target tersebut, dibutuhkan 396.800.000 dosis vaksin dan setiap hari harus ada 1,5-2 juta dosis vaksin yang diinjeksi kepada masyarakat. Vaksin yang sudah dikonfirmasi antara lain: Sinovac, Novavac, Covac (Gavi), AstraZeneca, Pfizer, Johnson & Johnson dan Sinophorm.


Sayangnya, untuk menggalakkan program vaksinasi secara massif terkendala ketersediaan dosis vaksin. Per 15 Juni 2021, dosis vaksin yang tersedia masih 94.728.400 yang meliputi 84.500.000 vaksin Sinovac, 8.228.400 vaksin AstraZeneca, dan 2.000.000 vaksin Sinophorm. Dan baru, di akhir Juli 2021, akan datang 50 juta vaksin Pfizer dan 50 juta vaksin Sinovac kembali. Jadi praktis, pada 6 bulan terakhir ini, program vaksinasi belum memenuhi 50 persen target orang dan waktu.


Oleh karena itu, siapa pun penguasa di era Pandemi, dihadapkan pada krisis kepercayaan terhadap program vaksinasi satu sisi, dan keterbatasan vaksin di sisi lain. Inilah kondisi kualitatif dan kuantitatif dari pemerintah dan masyarakat dalam memerangi wabah Corona yang mengganas pasca puasa dan Idul Fitri kemarin.


Andai kita jadi penguasa, pasti kita pusing tujuh keliling. Kondisi pandemi amat sangat dilematis. Kebijakan apa pun bak buah simalakama. Bila tegas dalam kebijakan kesehatan, maka ekonomi mandeg. Dan jika bebas dalam kegiatan ekonomi, maka kesehatan rusak. Semua kebijakan beresiko. Termasuk resiko ultrakritis masyarakat, yang memperolok-olok penguasa. Seperti BEM UI menyebut Jokowi King Of Lips Service, atau Pandu Riono menyebut Khofifah tak konsisten, atau Rully Efendi menyebut Hendy pacapa gubis.


Memang ultrakritik di atas tak melulu berdasarkan pada kinerja penanganan Covid-19, ada juga berlatar performa di bidang lain yang dinilai kurang akseleratif, sinergis dan kolaboratif. Hal ini lumrah, di tengah psikologi warga yang tercabik-cabik oleh wabah penyakit, penguasa merupakan sasaran paling empuk untuk dipersalahkan. Saya jadi teringat, perkataan politisi senior Jawa Timur yang baru berlaga di Pilbup Lamongan 2020 dari jalur independen yang disokong Partai Nasdem, Suhandoyo. Politisi gaek PDIP Jatim ini menyatakan, "politisi itu bila berhasil tidak dipuji, kala gagal dicacimaki, dan kalau hilang tidak dicari". Itulah Balada seorang politisi yang mewakafkan hidup dan matinya untuk Ibu Pertiwi.


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Bagikan:

Komentar