|
Menu Close Menu

Soal Poster "Jokowi The King of Lips Service", Begini Seharusnya Sikap Rektor UI Menurut Indo Parameter

Selasa, 29 Juni 2021 | 11.45 WIB

Tri Wibowo Santoso, Direktur Eksekutif Indo Parameter (Dok/Istimewa)


lensajatim.id Jakarta-
Direktur eksekutif Indo Parameter, Tri Wibowo Santoso, menilai, pihak rektorat Universitas Indonesia (UI) sejatinya mengapresiasi sikap Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI yang telah melontarkan kritik terhadap pemerintah dengan satire melalui poster yang menobatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai "The King of Lip Service". Terlebih lagi, mahasiswa juga dilindungi dengan prinsip kebebasan akademik dan berpendapat.


“Sikap kritis BEM UI dan kawan-kawan mahasiswa terhadap pemerintah seharusnya patut mendapat apresiasi. Apa lagi, Kampus itu kan mengedepankan kebebasan akademik,” kata pria yang karib disapa Bowo, Senin (28/6/2021).


Ironisnya, sambung Bowo, alih-alih bukan mendapat apresiasi dan support dari pihak kampus, pengurus BEM UI malah disidang oleh Rektorat. Hal ini, menurut Bowo, Indonesia telah kembali ke era kolonial dengan pola memberikan jabatan marsose kepada kaum pribumi agar dapat menindas saudaranya sendiri. 


"Faktanya Rektor UI Prof Ari Kuncoro ternyata rangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI). Ini kan pola kolonial memberikan jabatan marsose kepada pribumi untuk menekan saudaranya sendiri yang tak sependapat dengan pemerintah kolonial," cetus Bowo. 


Selain itu, imbuh Bowo, pemberian jabatan di BUMN terhadap rektor juga jelas menyalahi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI Pasal 35 ayat C yang menegaskan bahwa rektor atau wakil rektor UI tak boleh rangkap jabatan pada badan usaha milik negara/daerah atau swasta. 


"Sudah pakai cara kolonial, nabrak aturan pulak," cetus Bowo.


Sebagai "kepanjangan tangan" pemerintah, menurut Bowo, Rektor UI seharusnya merespon poster "Jokowi The King of Lips Service" secara positif. Karena, hal itu bagian dari kontribusi mahasiswa untuk mengingatkan kembali janji-janji presiden yang belum terealisasi atau menyimpang dari komitmen.


"Misal, saat kampanye Jokowi akan memberi subdisi sembako bagi rakyat dengan mengeluarkan kartu sembako. Sekarang, sembako malah dipajakin sama Menkeu Sri Mulyani yang merupakan anak buah Jokowi," beber Bowo.


Dari sisi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, Bowo mengingatkan, Jokowi pernah berjanji akan menguatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan menambah jumlah penyidik. 


"Tapi yang terjadi 75 pegawai KPK yang kredibel, berintegritas, dan militan justru disingkirkan melalui tes wawasan kebangsaan (TWK) yang terkesan mengada-ada," sesal Bowo. 


Demikian juga, imbuh Bowo, soal janji kampanye Presiden Jokowi yang tidak akan berutang. Tapi, faktanya beban utang pemerintah terus bertambah secara signifikan. 


"Pada akhir tahun 2014, utang pemerintah tercatat masih di level Rp 2.608 triliun. Kemudian setahun setelahnya atau di akhir 2015, utang pemerintah sudah menjadi Rp 3.089 triliun. Nah, sekarang total utang pemerintah sebesar Rp 6.418,15 triliun," papar Bowo. 


Begitu pula dengan komitmen Jokowi saat kampanye Pilpres yang akan mewujudkan swasembada pangan. Buktinya, menurut Bowo, ucapan Presiden tak selaras dengan realita yang ada saat ini. 


"Impor beras, garam, dan komoditi lainnya masih terus terjadi kok," cetus Bowo.


Oleh karena itu, Bowo menyarankan para akademisi untuk mensupport pergerakan mahasiswa dalam mengkritisi kebijakan pemerintah, bukan justru membully.


"Kritikan dari mahasiswa terhadap pemerintah harus didukung. Karena banyak ucapan pemerintah yang sudah tidak selaras dengan tindakannya. Mungkin saja Pak Presiden lupa pada komitmennya, sehingga perlu diingatkan lagi," tandas Bowo. (Had)

Bagikan:

Komentar