|
Menu Close Menu

Main Kayu Tunda Pemilu

Senin, 28 Februari 2022 | 19.49 WIB



Oleh Ludiro Prajoko


Lensajatim.id, Opini- Bangsa ini kaya pengalaman seputar Pemilu. Dekade pertama Indonesia merdeka, tidak berhasil menyelenggarakan Pemilu, karena situasi dan kondisi yang dapat dimaklumi: suasana revolusi.

 

Pengalaman pertama Pemilu terjadi tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan Majelis Konstituante, sesuai amanat UUD Sementara 1950, produk bersama Republik Indonesia Serikat (RIS) dan RI, yang dipicu oleh Mosi Integral Natsir.  Dikenang sebagai Pemilu yang sukses. Tak terjadi keributan lantaran kecurangan.


Perkembangan politik nasional penuh gejolak. Majelis Konstituante dibubarkan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Lalu, kembali ke UUD 1945. Setahun kemudian, DPR dibubarkan. Sebagai gantinya, Presiden Soekarno membentuk DPRGR. Dan, Pemilu menghilang sampai rejim Soekarno tumbang.


Pejabat Presiden Soeharto, menyelenggarakan Pemilu pada tahun 1971. Pemilu pertama era Orba. Sepuluh Parpol berlaga memperebutkan suara tuhan (Vox Populi Vox Dei). Tapi, dikutuk sebagai Pemilu semu penuh ratapan. 


Berikutnya, Pemilu diselenggarakan tahun 1977. Mundur setahun dari jadual semestinya seturut konstitusi. Kala itu memang ada agenda besar Orba: mem-Fusi-kan Parpol peserta Pemilu 71, sehingga menghasilkan tiga kontestan (dua Parpol: PPP dan PDI) dan Golkar. Walaupun Pemilu-Pemilu Orba dianggap akal-akal demokrasi, tapi selalu ajeg diselenggarakan, dan on time (sekali dalam lima tahun): 82, 87, 92, 97. 


Orba mengulangi pengalaman Polis Yunani masa Herodotus: muncul, tumbuh, berjaya, lalu hancur. Bubar akibat reformasi (?). Rejim, dimanapun tak akan pernah langgeng ditempat tinggalnya. 

Lalu, Pemilu disegerakan, tiga tahun lebih awal dari jatuh tempo (2002). Kaum reformis memang perlu segera tampil kepanggung kekuasaan.

  

Seperti era Orba, Pemilu diselenggarakan ajeg dan tepat waktu pada era reformasi. Selain itu, hal-hal terkutuk masa Orba, juga berulang pada skala yang sesuai kebutuhan era Reformasi. Kelebihannya, Orde Reformasi melakukan empat kali amandemen.

 

Dewasa ini, ketika Reformasi akrab dengan caci maki. Tiba-tiba, dengan jenaka, melenting gagasan: penundaan Pemilu – perpanjangan masa jabatan Presiden. Muhaimin Iskandar (Wakil Ketua DPR – Ketum PKB) menjadi sejenis TOA, dan segera disambut Airlangga Hartanto (Ketum Golkar), juga Zulkifli Hasan (Ketum PAN).


Tentu saja memicu tanggapan cukup riuh dari sejumlah kalangan. PKS dan Demokrat tegas menolak. Juga, (sementara ini) PDIP. Argumennya usulan penundaan Pemilu tidak punya dasar hukum yang kuat. Kabarnya Nasdem juga menolak. 


Muhammmadiyah tegas menolak, karena wacana penundaan itu potensial melanggar konstitusi. Denny Indrayana menyebutnya: pelanggaran konstitusi berjamaah. Para aktivis demokrasi jelas keras menolak, karena (bakal) menghancurkan demokrasi.  Said Iqbal (Partai Buruh) menegaskan siap people power jika keinginan penundaan Pemilu dipaksakan.

 

Respon atas wacana penundaan itu, bila dipetakan, tampaknya bermuara pada tiga cara pandang. 


Pertama: cara pandang politik sebagai permainan kekuasaan, dengan menerapkan metode main kayu. Maka, usulan-agenda politik apapun bisa diwujudkan oleh pihak atau koalisasi para pihak dengan kekuatan mayoritas mutlak. Cara pandang ini menampilkan politik sebagai perayaan memuliakan kepentingan penguasa.

 

Kedua: cara pandang teknis hukum. Usulan – agenda politik apapun dapat diwujudkan melalui penyesuaian hukum pada level Konstitusi dan/atau Undang-Undang. Hukum menjadi perkara teknis. Sewaktu-waktu dapat disesuaikan untuk melegalisasi kepentingan penguasa. 


Ketiga: cara pandang etik. Tidak semua usulan–agenda politik dapat diwujudkan. Karena harus dipastikan kesesuaiannya, dengan nilai-nilai (filosofis, etis, historis, ……). 


Setiap gejala politik main kayu dan/atau pemerosotan hukum menjadi persoalan teknis, pasti bertabrakan keras dengan cara pandang etik. Yang etik tidak mungkin diselingkuhkan. Perselingkuhan hanya mungkin, dan memang acap terjadi pada cara pandang politik – hukum yang kedap etik.


Politik sebagai permainan kekuasaan telah teruji efektifitasnya melalui sengketa perkara kecurangan  Pemilu 2019, Omnibus Law, pemindahan IKN, …. Sekalipun demikian, bila memang berkehendak main kayu tunda Pemilu, tidak lantas dilakukan secara serampangan. 


“Kondisi objektif” yang memadai mesti disiapkan. Wabah yang kembali mengamuk dikaitkan dengan agenda pemulihan ekonomi potensial sebagai latar. Apalagi bila wabah dapat dikait-hubungkan dengan metode baru gerakan kaum radikal-teroris. 


Dari sisi teknis hukum, tampaknya tak pelik setelah membaca tulisan Prof. Yusril. Gamblang menunjukkan cara  yang dapat diterapkan untuk mengabsahkan perselingkuhan politik dan hukum main kayu tunda Pemilu. Ayat-ayat yang perlu ditambahkan dalam Pasal 22 E juga sudah disiapkan. Dalam perkara itu, Prof. Yusril memang jagonya.


Ketentuan dan tatacara amandemen (terbatas) telah rinci pula dijelaskan Ketua MPR. 


Kiranya, rakyat bersegera maklum!


*Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa*

Bagikan:

Komentar