|
Menu Close Menu

Kalimatun Sawa Baina NasDem Wa PKS

Rabu, 22 Juni 2022 | 20.38 WIB

DPP PKS saat berkunjung ke DPP Partai NasDem di Kantor NasDem Tower Jakarta. (Dok/Istimewa).


Oleh Moch Eksan


Lensajatim.id, Opini-Pertemuan Partai NasDem dengan PKS menghasilkan kesepakatan untuk kerjasama dalam persiapan Pilpres 2024. Surya Paloh dan Ahmad Syaikhu sama-sama mengakui bahwasanya banyak kesamaan dua partai yang dikomandaninya. Titik kesamaan inilah yang mendorong untuk merajut kerjasama lebih serius dalam menghadapi suksesi kepemimpinan nasional.


Memang, dua partai yang telah melaksanakan Rakernas dua pekan terakhir ini, belum menyebut nama bakal calon presiden. Tapi, dalam relung hati terdalam, publik dapat membaca dari kasak kusuk seputar Pilpres. Kecenderungan NasDem dan PKS sama mengarah pada figur yang sama. Anies Rasyid Baswedan, Gubernur DKI Jakarta adalah "kalimatun Sawa" baina NasDem wa PKS.


Kata "Kalimatun Sawa" adalah tarkib idhafi dalam Bahasa Arab yang berarti: kata yang sama, kata sepakat atau titik temu. Kata ini diambil dalam QS Ali Imran/3:64, "Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu..."


Mufassir Nusantara Hasbi Asshidiqie, menafsirkan "Kalimatun Sawa" dengan kesepakatan di atas perbedaan. Mereka memilihnya titik temu untuk menghindari perselisihan dan mewujudkan kemaslahatan bersama.


Dalam konteks ini, perbedaan platform NasDem sebagai partai nasionalis dan PKS sebagai partai berbasis Islam, mencari titik temu bersama untuk menghindari perselisihan negara vs Islam, dan mewujudkan politik inklusif demi keutuhan bangsa.


Tak bisa dipungkiri, rezim yang berkuasa 10 tahun terakhir ini telah memarginalisasikan sebagian kelompok umat Islam. Mereka merasa dikucilkan atau bahkan disingkirkan dari panggung kekuasaan. Sikap kritis dan oposan dimaknai sebagai bentuk pembangkangan terhadap negara.


Negara memperlakukan umat Islam dengan politik belah bambu. Satu diangkat dan satu yang lain diinjak. NU dan Muhammadiyah diangkat, kelompok lain diinjak. Efek dari kebijakan ini, tak sedikit umat Islam mengalami dislokasi keindonesiaan. Rasa keindonesiaan tak tumbuh bersamaan dengan rasa keislaman.


Dari 237,53 juta atau 86,9 persen Umat Islam Indonesia, tak semua menerima keindonesiaan dengan utuh. Di antara mereka ada yang berselisih dengan ideologi, konstitusi, sistem ketatanegaraan, dan realitas sosial yang majemuk. Mereka menginginkan bentuk negara lain: Khilafah Islamiah atau Negara Islam Indonesia (NII).


Kebijakan negara yang represif terhadap sebagian kelompok umat Islam, telah menimbulkan simpati terhadap mereka satu sisi dan antipati terhadap pemerintah sisi lain. Ini ongkos yang harus dibayar dari kegagalan negara melakukan indoktrinasi ideologi negara.


Surya Paloh gelisih melihat polarisasi negara vs Islam ini. Sehingga sampai menggulirkan duet Anies-Ganjar atau Ganjar-Anies untuk mengakhir perseteruan kelompok Islam dan nasionalis atau nasionalis dan Islam. Sayangnya, gagasan ini kurang mendapat dukungan dari kekuatan politik yang lain.


Ganjaris, seperti Mazdjo Pray, bahkan menuding NasDem sebagai pendukung kadrun setelah mengumumkan Anies sebagai bakal calon presiden. Padahal, Rakernas menyebut 3 nama. Termasuk Andika dan Ganjar.


Sementara, Ganjar itu sendiri saat diumumkan sebagai bakal calon presiden oleh NasDem, komentarnya sangat ketus. Ia mengucapkan terima kasih. Disamping, ia menegaskan bahwa dirinya anggota PDIP yang tegak lurus kepada Megawati Soekarnoputri.


Kelihatannya, Ganjar itu politisi yang masih embok-emboken. Tanpa restu Mega dan didukung oleh PDIP, ia lebih memilih untuk tak mencalonkan diri sebagai capres 2024. Mega bagi dirinya bukan sekadar ketua umum tapi juga ibu sebagai pengganti ibu kandungnya.


Oleh karena itu, peluang Anies dicapreskan oleh NasDem sangat terbuka lebar. Tinggal, bagaimana NasDem memenuhi persyaratan presidensial threshold. PKS mitra potensial untuk mengusung Anies dan mengakhiri posisinya sebagai oposisi selama rezim Jokowi berkuasa.


Memang, NasDem dan PKS belum cukup mengusung Anies, butuh dukungan dari partai parlemen lain. Sebab, akumulasi kursi dua partai ini hanya 109 kursi. Kurang 5 kursi untuk memenuhi 20 persen.


Lalu, partai apa yang bersedia bergabung dalam koalisi NasDem ini? Sepertinya tinggal Partai Demokrat yang tersisa. Selebihnya sudah masuk KIB, dan KIR. Di tengah kebuntuan ini, Indonesia menunggu manuver Surya Paloh sebagai king maker dari koalisi pendukung Anies.


*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute

Bagikan:

Komentar