|
Menu Close Menu

Aku dan Saudaraku Malik

Sabtu, 09 Juli 2022 | 15.33 WIB



Oleh Moch Eksan

Lensajatim.id, Opini-Pada 1994, Saya dan Muhammad Malik dipertemukan oleh Bimbingan Test Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jember Komisariat Sunan Ampel. Bimbingan ini untuk ujian masuk Universitas Islam Negeri (UIN) KH Ahmad Shiddiq namanya sekarang. Kami berdua punya latar kultur keagamaan yang berbeda. Yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.


Sedari awal sejak ujian masuk sampai saya dan saudaraku yang kelahiran Banyuwangi, 10 Nopember 1973 ini, selalu tinggal satu kos sampai lulus. Dari sini, kami berdua saling mengenali perbedaan kultural keagamaan NU dan Muhammadiyah. Namun, perbedaan tersebut tak menjadi penghalang hubungan persahabatan. Justru, menjadi kawah candradimuka dalam toleransi antar anggota dua organisasi terbesar di Indonesia.


Selepas keluar dari Fakultas Tarbiyah, saya dan Malik banyak memiliki kesamaan profesi. Pernah menjadi dosen, anggota Komisi Pemilihan umum (KPU) di Jember dan Bondowoso dan lain sebagainya. 


Pada Idul Adha 2022 ini, juga sama-sama menjadi Khotib. Tentu, sesuai dengan ideologi keagamaan masing-masing. Saya khutbah pada Minggu, 10 Juli 2022 di Masjid Nurul Muhajirin Villa Tegas Besar Kaliwates Jember. Sedangkan, Malik khutbah pada Sabtu, 9 Juli 2022 di Lapangan Perintis Badean Polres Bondowoso.


Perbedaan hari raya Idul Adha 2022 ini sudah dianggap biasa. Dalam hati orang yang paham terhadap kelompok lain, sedikitpun tak terlintas bahwa salah satunya lebih utama dari yang lain. Apalagi, mau menyalahkan orang lain, seperti kebiasaan kelompok keagamaan lain di luar NU dan Muhammadiyah. Dimana mereka terseret oleh truth claim sampai terjerembab pada paham takfiri.


John Hick menyatakan bahwa tak ada kebenaran tunggal. Klaim atas kebenaran menyalahi realitas sosiologis dan antropologis yang plural. Fakta, agama dan keyakinan  di dunia sangat beragam. Klaim sepihak dan merasa paling benar menyuburkan kasus intoleransi dan kekerasan atas nama agama.


Saya dan Malik sampai sekarang tak pernah mengusik, apalagi usil terhadap keyakinan dan praktek keagamaan lain dengan membawa misi sektarian: NUisasi atau Muhamadiyahisasi. Dua organisasi yang didirikan dua sahabat yang nyantri kepada Syeikh Khotib Al-Minangkabawi ini merupakan modal sosial dari tolerasi agama serta persatuan bangsa.


Satu dekade terakhir, menguatnya politik identitas bersamaan dengan mengerasnya sektarianisme agama yang menjadi batu uji harmoni sosial dan integritas bangsa. Ini dilatarbelakangi oleh ekslusifisme pergaulan sosial di dunia pendidikan. Pola pergaulan seperti ini menimbulkan sekat dan kurangnya pergaulan lintas batas yang berguna untuk membangun kesepahaman dan saling pengertian.


Pekerjaan Rumah (PR) terbesar bangsa ini, membesarnya sektarianisme agama dan keyakinan yang melibatkan negara. Atas dasar kepentingan elektoral, penguasa seringkali mengeksploitasi ideologi dan tradisi kelompok tertentu dalam aras seremonial negara. Pengakuan dan pemberian tempat yang over acting dari pejabat terhadap agama dan keyakinan tertentu, menyulut api sektarianisme semakin berkobar.


Negara berkontribusi terhadap lahirnya pengotakan sosial di akar rumput. Mereka adalah penyelenggara negara yang tak sensitif bahwa kekuasaan, jabatan dan kewenangan adalah fasilitas publik yang harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Banyak pejabat negara yang memanfaatkan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi dan kelompok.


Sayangnya, publik mulai kehilangan akar waras dan mulai membenarkan praktek pemerintah yang afirmatif terhadap agenda kepentingan kelompok. Mereka selalu beralibi bahwa itu hak kelompok sebagai hak sesama warga negara yang mesti juga mendapatkan fasilitas negara.


Semua menuntut hak dan lupa berkorban untuk kepentingan yang lebih besar. Bila negara dan warganya tak bisa mengimbangkan antara hak dan kewajiban, ini bom waktu disintegrasi bangsa yang mengancam kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentu, para pihak pasti tak menginginkan Indonesia bubar.


Saya dan Malik, di momentum hari raya Idul Adha pasca Pandemi Covid-19 ini, melanjutkan pesan kurban Nabi Ibrahim dan Ismail AS, untuk mengobarkan pesan substansial kurban dengan pengorbanan. Amal sosial KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan adalah contoh pengorbanan sejati dengan menghidupkan NU dan Muhammadiyah, bukan mencari hidup di dalamnya.


Akhirnya, keberadaan NU dan Muhammadiyah telah menjadi pilar penyanggah kebangsaan yang rela berkorban demi Tanah Air.  Selaku kader dua organisasi tersebut, ingin menjadi butiran pasir bagi bangunan peradaban Islam dan Indonesia masa depan. Ied Mubarak. Selamat hari kurban, semoga kita bisa menyembelih nafsu hewani demi kejayaan negeri. Amien!!


*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute

Bagikan:

Komentar