Oleh Moch Eksan
Lensajatim.id, Opini- Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy'ari telah membangun para singa tidur dari partai politik di Senayan. Mereka nampak kompak dalam menghadapi upaya pergantian sistem pemilu melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Tak bisa dielakkan telah terjadi polarisasi partai politik parlemen. Antara PDIP versus 8 partai politik lainnya. Hanya partai pimpinan Megawati Soekarnoputri yang menginginkan sistem proposional tertutup. Sedangkan Partai Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PKS, PAN dan PPP ingin tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka.
Momentum uji materi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah menyatukan semua partai kecuali PDIP. Wabilkhusus dalam menyikapi gerakan bawah tanah yang berupaya merubah sistem pemilu yang sudah berlaku.
Dalam konteks ini, PDIP menjadi common enemy (musuh bersama) partai politik parlemen lainnya. Upaya pergantian sistem pemilu hanya menguntungkan PDIP saja. Partai politik parlemen lainnya pasti merasa dirugikan.
Kemenangan PDIP dua kali Pileg, dan proyeksi hattrick pada pemilu serentak 2024, dengan perubahan sistem pemilu akan semakin melapangkan jalan kemenangan ketiga kalinya. Dengan sistem proporsional tertutup, kemenangan PDIP akan semakin tebal.
Istilah hattrick itu berasal dari Bahasa Inggris, hat trick, yang merupakan istilah olah raga bagi keberhasilan tiga kali dalam perlombaan. Sehingga, dalam sepak bola, ada istilah Trigol bagi seorang pemain yang bisa mengoalkan bola yang ketiga.
Partai asal Presiden Jokowi selama ini selalu menggembar-gemborkan kemenangan hattrick bagi PDIP. Apalagi, semua lembaga survei selama kurun waktu pasca pemilu serentak 2019, senantiasa mengunggulkan PDIP sebagai pemenang pemilu.
Mereka sangat yakin, PDIP bukan sekadar mengulangi kemenangan ketiganya. Akan tetapi menang besar, seperti pada Pemilu 1999. Dimana partai berlogo banteng bermoncong putih memperoleh 35,6 juta suara atau setara 33,74 persen, dan dengan 153 kursi.
Jujur, rekor kemenangan ini belum tertandingi oleh partai politik lain manapun. Termasuk oleh rekor kemenangan PDIP sendiri pada pemilu berikutnya sepanjang sejarah Pileg pasca Orde Baru.
Pertama, Pileg 2004. Pemilu dimenangkan oleh Partai Golkar dengan 24,4 juta suara atau setara dengan 22,44 persen dan dengan 120 kursi.
Kedua, Pileg 2009. Pemilu dimenangkan oleh Partai Demokrat dengan 21,7 juta atau setara dengan 20,85 persen dan dengan 148 kursi.
Ketiga, Pileg 2014. Pemilu dimenangkan oleh PDIP dengan 23,6 juta suara atau setara dengan 18,95 persen dan dengan 109 kursi.
Keempat, Pemilu 2019. Kemenangan yang sama diraih kembali oleh PDIP dengan 27 juta suara atau setara dengan 19,3 persen dan dengan 128 kursi.
Jadi, kilas balik sejarah pemilu ke pemilu, telah menunjukkan bahwa kemenangan PDIP terbesar pada pemilu awal reformasi dengan sistem pemilu proporsional tertutup.
Setelah sistem proporsional terbuka diterapkan, maka peta kekuatan politik semakin merata, seperti kehendak sistem proporsional. Dimana suara rakyat banyak yang terkonversi pada kursi dan mengurangi suara hangus akibat parliamentary threshold untuk kepentingan konsolidasi demokrasi.
Tanpa tedeng aling-aling, pertemuan pimpinan partai di Hotel Dharmawangsa Jakarta Selatan, Minggu, 8 Januari 2023, merupakan kelanjutan episode dari pernyataan sikap bersama 8 pimpinan fraksi DPR RI.
Mereka dengan tegas menolak sistem proporsional tertutup. Pertemuan ini juga memberikan pesan bahwa mereka masih awas atas berbagai intrik untuk memberangus eksistensinya di Senayan.
Di balik upaya pergantian sistem pemilu, ada skenario pemenangan PDIP untuk ketiga kalinya. Tanpa terlalu banyak keluar energi, sistem proporsional tertutup akan menghadiahkan banyak suara dan kursi.
Apalagi, hasil survei Indikator Politik Indonesia menyebutkan bahwa Party ID di Indonesia sangat rendah. Ini tercermin dari hasil survei Burhanuddin Muhtadi. Bahwasannya, hanya 6,8 persen dari 1.200 responden yang merasa dekat dengan partai politik tertentu.
Sedang, 92,3 persen merasa tak memiliki kedekatan dengan partai politik manapun. Mereka sekitar 46 persen lebih merasa diwakili oleh anggota dewan daripada partai politik. Responden yang merasa diwakili partai hanya 28,1 persen saja.
Yang menarik, dari 6,8 persen yang merasa kedekatan dengan partai tersebut. Yang terbesar adalah PDIP dengan 26,8 persen. Gerindra 25,3. Persen. Demokrat 16,5 persen. Sisa partai politik parlemen lainnya tak lebih hanya 7 persen.
Sangat bisa dipahami, bila PDIP menjadi musuh bersama. Dan 8 partai politik parlemen membangun kebersamaan. Betapa logika sistem proporsional tertutup akan mengeliminir politik uang dan menguatkan Kedaulatan partai, merupakan kamuflase untuk membungkus agenda politik tersembunyi.
Sekarang, semua tahu siapa kawan dan siapa lawan. Saya jadi teringat pada pendapat Imam Ali Bin Abi Thalib Karramallah Wahjah, bahwa teman ada tiga macam. Musuh juga ada tiga macam. Pertama, temanmu sendiri, kedua, temannya temanmu, dan ketiga musuhnya musuhmu. Begitu pula juga sebaliknya.
*Pendiri Eksan Institute dan Penulis Buku Fikih Pemilu, Menyemai Nilai Agama dan Demokrasi di Indonesia
Komentar