|
Menu Close Menu

Belajar dari Sudan, Musim Gugur Demokrasi di Ujung Ramadhan

Kamis, 20 April 2023 | 23.30 WIB



Oleh Moch Eksan


Lensajatim.id, Opini- Pasca Presiden Omar Al-Bashir dilengserkan dari singgasana kursi kepresidenan yang diduduki selama 30 tahun, Republik Sudah diperintah oleh Junta Militer. Ada dua jenderal yang mengendalikan kedaulatan Sudan. Masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua Dewan Kedaulatan. Yaitu Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan dan Jenderal Muhammed Hamdan Dagalo.


Jenderal angkatan darat dan paramiliter Sudan tersebut saling berebut kekuasaan. Sontak perang saudara tak bisa dielakkan. Korban perang terus berjatuhan. World Health Organization (WHO) mencatat 300 orang tewas dan 3.00O orang luka-luka. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda perang akan selesai. Malah eskalasinya semakin meningkat, setelah sempat genjatan senjata selama 24 jam.


Perang saudara telah mengubur cita-cita demokrasi. Pemilu yang dijadwalkan 2024 pasti urung disiapkan dan dilaksanakan. Kekerasan fisik yang melanda Sudan menjadi penghalang pertama dan utama dalam membangun pemerintahan sipil dalam pemilu demokratis.


Negara yang mayoritas penganut Islam Sunni ini terjebak dalam kubangan konflik bersenjata antara kekuatan militer resmi dan paramiliter. Mereka menghalalkan segala cara untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, hatta menumpahkan banyak darah manusia. Ramadhan dan Idul Fitri yang merupakan syahrul imsak (bulan mencegah) dari perbuatan keji dan mungkar, sama sekali tak diindahkan.


Sepuluh terakhir Ramadhan yang merupakan fase itqun minannar (pembebasan dari api neraka), justru di Khartum, Ibu Kota Sudan tercekam oleh desingan peluru dari senapan para tentara. Kota yang dihuni oleh 42 juta penduduk seperti di neraka. Banyak mayat bergelimpangan di  jalan. Warga dihantui ketakutan mendalam. Perang yang berlangsung sejak Sabtu, 15 April 2023 kian tak bisa dikendalikan.


Perang Sudan menjadi ladang pembantaian manusia. Setelah merdeka dari Inggris dan Mesir pada 1 Januari 1956, terjadi perang saudara yang panjang dan berujung pemisahan diri Sudan Selatan dari Sudan pada 9 Juli 2011. Dua jenderal dan pasukan yang berperang adalah pasukan Presiden Bashir yang kejam dan sadis serta melakukan genosida di Darfur.


Darfur adalah daerah bagian barat jauh dari Sudan. Daerah ini terbagi menjadi tiga. Yaitu: Gharb Darfur, Janub Darfur, dan Shamal Darfur. Daerah ini dihuni oleh 9,2 juta penduduk di wilayah seluas 493.180 km2. Daerah ini dikenal sebagai daerah konflik antara klan Arab dengan warga kulit hitam Afrika.


Konflik rasial di Darfur ini berawal dari perebutan sumberdaya alam antara suku Arab nomaden dengan suku Afrika yang menghuni tanah di daerah tersebut. Peristiwa itu berawal dari bencana kemarau yang panjang dan kelaparan yang melanda Darfur pada 1983. Bibit perang rasial ini tak bisa dipangkas oleh pemerintah Sudah. Malah, Presiden Al-Bashir ikut masuk dalam konflik dengan menyupport milisi Janjaweed yang merupakan pejuang kulit hitam yang bersenjata dan berbahasa Arab.


Milisi pimpinan Jenderal Dagalo yang digunakan oleh pemerintah Sudan untuk memberantas kaum pemberontak dan anti pemerintah. Mereka adalah Gerakan Keadilan dan Kesetaraan dan Tentara Pembebasan Sudan yang melawan pemerintah akibat tindakan diskriminasi terhadap penduduk asli Darfur.


Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menulis bahwa Perang Darfur dari 2003-2009 banyak diwarnai dengan tindak kejahatan perang. Milisi Janjaweed yang dituduh membantai rakyat sipil, membunuh perempuan dan anak, merampok, memperkosa dan membakar hunian warga. Tak kurang dari 461 ribu tewas, dan 2,8 juta penduduk mengungsi.



Kini sehabis Perjanjian Damai Darfur 2011 tercapai, dua jenderal yang berlumuran darah rakyat sipil, berperang sendiri dan berebut kuasa di Sudan. Rezim Junta Militer gagal mengkonsolidasi kekuatan militer dalam membangun pemerintahan sipil. Pemilu demi pemilu sudah berulang ditunda untuk menyelesaikan konflik politik yang berkepanjangan setelah Presiden Al-Bashir diturunkan.


Pada zaman Presiden Al-Bashir, resolusi damai antara Sudan dan Sudan Selatan telah menewaskan 2 juta orang selama 21 tahun, pernah digelar pemilu multipartai pertama. Pemilu ini dirancang untuk melakukan transformasi demokrasi dalam membentuk pemerintah demokratis hasil pemilu. Sayangnya, pemilu dibaikot oleh kelompok oposisi, sehingga memudahkan jalan rezim pemerintahan dari Presiden berkuasa memenangkan pemilu.


Pada Pemilu Sudan terakhir pada 2015, pemilu presiden dan parlemen disapu habis oleh presiden petahana dan partai penguasa. Presiden Al-Bashir memperoleh 5,2 juta suara atau setara dengan 94,05 persen. Sisanya diperoleh oleh 14 calon presiden dari partai dan mandiri.


Sementara, Partai Kongres Nasional, partai besutan Presiden Al-Bashir mendapatkan 323 kursi dari 426 kursi parlemen yang diperebutkan oleh 26 partai politik peserta pemilu. Partai pemerintah ini memperoleh suara 3,9 juta dari 4,9 juta pemilih yang hadir dari 13,1 juta pemilih yang daftar.


Pemilu demi pemilu di Era Presiden Al-Bashir selalu diwarnai baikot pemilu oleh kelompok oposisi. Sehingga, partisipasi pemilih sangat rendah. Pada Pemilu 2015 misalnya, pemilih yang menggunakan hak pilih hanya 6 juta. Sedangkan yang tak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) sampai lebih dari 7 juta pemilih. Ini berarti, golput yang mencapai 53,9 persen sesungguhnyalah yang menjadi pemenang pemilu.


Dari berbagai data hasil pemilu di atas, legitimasi Presiden Al-Bashir rendah, sehingga mudah dijatuhkan. Presiden yang mengawali karir presidensinya pada 1989 dari kudeta juga berakhir dengan kudeta pada 2019. Ini berawal dari krisis ekonomi yang melanda Sudan yang memicu protes massa berbulan-bulan. Massa demonstran menutut mundur. Namun, sang presiden menolak dan tetap bertahan dari tekanan massa ala gerakan musim semi Arab yang menggulingkan penguasa Mesir Hosni Mubarak dan penguasa Libya Muammar Gaddafi.


Akhirnya, militer Sudan menggambil kekuasaan Presiden Al-Bashir dan menyeretnya ke pengadilan atas tuduhan pelangaran konstitusi. Sebab, ia mengkudeta Perdana Menteri Sadik Al-Mahidi pemerintah yang merupakan hasil pemilu yang sah pada 1989. Ia dituntut hukuman seumur hidup dan atau hukum mati.


Pada April 2019, militer bersama dengan kelompok oposisi membentuk pemerintahan transisi untuk menjalankan pemerintahan dan menyelenggarakan pemilu demokratis. Sayangnya, Dewan Transisi Militer yang dipimpin oleh Ahmed Awad Ibn Auf  hanya berkuasa sehari, 11-12 April 2019. Kemudian dilanjutkan oleh Jenderal Al-Burhan yang sedang bertikai dengan Jenderal Dagalo.


Perang saudara sekarang, semakin menjerumuskan Sudan pada spiral kekerasan fisik yang berdarah. Ini tradisi pengalihan kekuasaan yang bertentangan dengan nilai demokrasi yang asali. Kekerasan adalah nilai yang paling haram dalam praktek demokrasi. Dewan transisi militer nyata-nyata gagal  menciptakan stabilitas politik. Agenda Pemilu 2024 juga penuh ketidakpastian. Dengan demikian, demokrasi di Sudan bukan memasuki musim semi namun masuk musim gugur di penghujung Ramadhan ini.


*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute

Bagikan:

Komentar