|
Menu Close Menu

Optimalisasi Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin

Jumat, 16 Juni 2023 | 10.30 WIB




Oleh: Ribut Baidi*


Lensajatim.id, Opini- Indonesia adalah negara hukum yang memberikan jaminan kepada semua warganya mendapatkan bantuan hukum dan keadilan hukum sebagaimana yang ditegaskan didalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen ketiga yang berbunyi:“Indonesia adalah negara hukum”. Frasa “negara hukum” bertitik tolak dari pemaknaan integratif antara konsep ‘rechstaat’ dengan ‘rule of law’, yakni keadilan hukum yang tidak hanya didasarkan pada keadilan hukum normatif, tapi juga prinsip keadilan hukum di luar hukum normatif.


Romli Atmasasmita (2009) menyatakan Indonesia sebagai negara hukum harus memberikan jaminan kepada seluruh masyarakat terhadap persamaan di hadapan hukum serta diberikan jaminan hukum terhadap perlindungan HAM, sehingga terwujud adanya perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law) yang disertai pula dengan persamaan perlakuan (equal treatment). Salah satu bentuk persamaan perlakuan dalam hukum tersebut bisa direalisasikan melalui pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin yang bisa dilakukan oleh advokat (lawyer) atau pembela umum dalam rangka memperoleh keadilan (acces to justice).


Frans Hendra Winarta (2009) dengan mengutip Adnan Buyung Nasution dan Todung Mulya Lubis  mendefinisikan bantuan hukum sebagai program yang dijalankan pada aspek kultural dan struktural. Titik tekan aspek kultural ini terfokus pada perubahan tatanan hidup masyarakat yang lebih baik. Sedangkan, titik tekan struktural diimplementasikan pada ranah pembelaan (advokasi) terhadap masyarakat agar bisa terbebas dari belenggu struktur politik, ekonomi, dan sosial yang sarat dengan bentuk hegemoni dan penindasan. 


Bantuan hukum tidak bisa melepaskan dari sebuah tujuan substansial didalam menata kembali masyarakat dari adanya kepincangan struktural yang tajam dengan menciptakan pusat-pusat kekuatan (power resources) sekaligus diciptakannya distribusi kekuasaan untuk membangun partisipasi dari bawah, terutama dari kalangan masyarakat miskin untuk mengembalikan hak-hak dasar mereka yang berkaitan dengan sumber daya politik, ekonomi, tekhnologi, informasi dan lain sebagainya melalui upaya pemberian bantuan jasa hukum bagi mereka yang tidak mampu agar mendapatkan keadilan hukum dan akses bantuan hukum secara cuma-cuma. Oleh karenanya, bantuan hukum sebenarnya menjadi tumpuan dan harapan besar yang diprakarsai oleh para advokat secara personal maupun advokat publik yang ada di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk kepentingan pembelaan hak hukum masyarakat miskin (grass root).


Spirit Reformasi 1998: Penegakan Hukum Berkeadilan 


Bergulirnya reformasi tahun 1998 merupakan perlawanan besar rakyat terhadap kekuasaan Soeharto dan rezim orde baru yang dibangunnya karena dianggap represif dan bertolakbelakang dengan cita ideal Indonesia didalam membangun sistem kenegaraan yang berpihak kepada rakyat, terutama dalam bidang hukum dan pemerataan ekonomi. 

Namun, selama kurun waktu 25 tahun reformasi berjalan, penegakan hukum dan pencapaian keadilan hukum bagi masyarakat miskin justru kontraproduktif dengan spirit reformasi yang digelorakan. Korupsi yang kian menggurita, kejahatan narkoba yang semakin ekspansif, pelecehan seksual yang semakin leluasa, pembunuhan dan penganiayaan yang hampir tiap hari terjadi, terorisme yang meningkat, dan kasus-kasus HAM masa lalu yang belum terungkap adalah silang-sengkarut problematika hukum di negeri ini yang tidak bisa dipungkiri. Oleh sebab itu, butuh keseriusan dan komitmen bersama dari para stackholders bangsa agar penegakan hukum dan keadilan hukum benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat miskin, tidak tebang pilih, dan tidak menjadikan hukum sebagai alat “penyandera” untuk kepanjangan tangan sistem dan kekuasaan politik.


Bagi masyarakat miskin, keadilan hukum dan fakta sosial merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Hukum adalah benteng yang bisa dijalankan melalui sistem kekuasaan dalam suatu negara. Jika, kekuasaan didorong melalui sistem demokratis, maka hukum akan dijalankan dengan baik dan masyarakat akan mudah mendapatkan keadilan hukum. Sebaliknya, jika kekuasaan otoriter, maka hukum akan dijadikan alat untuk menindas, dan keadilan akan tereduksi dengan kepentingan kekuasaan yang melahirkan kesenjangan, ketimpangan, ketertindasan, dan konflik horisontal. 


Peran Pegiat Bantuan Hukum


Advokat secara personal maupun advokat publik yang tergabung dalam LBH harus hadir dan berekspansi pada ruang-ruang masyarakat kecil yang selama ini “tabu” terhadap pemahaman hukum normatif dan cenderung terisolasi didalam merasakan keadilan hukum substantif. Masyarakat harus bisa diberi pemahaman “edukasi hukum” dan “ekspektasi keadilan hukum”,  mendorong terwujudnya penegakan hukum dan HAM, serta pencapaian keadilan hukum yang akseleratif terhadap kebutuhan masyarakat miskin yang selama ini cenderung menjadi objek ketidakadilan hukum pada ranah empiris. 

Hukum dan keadilan sebagaimana gagasan yang diusung oleh Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at (2018) merupakan satu dimensi dan kesatuan muara yang tidak bisa dipisah. Hukum harus dihadirkan sebagai sukma keadilan meskipun keduanya berbeda secara politis dan ideologis. Tetapi, mengharmonikan keduanya dalam tataran empiris adalah hal niscaya. Penerapan aturan yang adil bagi setiap orang akan dimaknai sebagai keadilan hukum (supremacy of law) yang akan melahirkan justifikasi moral dan menciptakan kegembiraan bagi kehidupan masyarakat sosial.


Dengan demikian, advokat sebenarnya memiliki kewajiban sebagaimana profesi yang disandangnya (officium nobile) untuk membantu masyarakat miskin, baik secara personal maupun yang tergabung dalam LBH agar mereka bisa merasakan tentang keadilan hukum dalam dimensi ruang dan waktu, serta bisa merasakan manfaat dari keberadaan advokat dalam lingkungan kehidupan mereka. (*)


*Advokat dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan;

Sekretaris LPBH NU Cabang Pamekasan Periode 2021-2025

Bagikan:

Komentar