|
Menu Close Menu

Pemilu 2024 Sebagai Bejana Perkuat NKRI

Sabtu, 10 Juni 2023 | 15.54 WIB



Oleh Hamdi Hidayatullah



Lensajatim.id, Opini- Dalam membangun nation and state. Tentunya perlu melakukan penataan sistem yang menjadi pondasi kebersamaan dalam melajukan kemudi bernegara, yaitu "sistem demokrasi ". Sistem demokrasi yang sering kita narasikan  adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyat ikut berpartisipasi dalam memerintah atau memberikan kepercayaan kepada seseorang sebagai perwakilan dalam menjalankan tugas dan wewenang. 


Pemilihan umum 2024 menjadi satu realitas politik yang di kemas dengan sistem demokrasi terbuka jujur dan adil. Yang mana penggunaan demokrasi ini berpijak dalam sila ke 4 Pancasila yang sudah sangat final. Yaitu " Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / Perwakilan ". Secara tekstual kita semua faham soal itu bahkan di usia dini pun hafal Pancasila. Maksud baik saya jangan sampai pengutaraan-pengutaraan formalitas hanya menjadi tameng identitas demi meraup pundi-pundi suara mayoritas. 


Kita semua tahu bahwa pesta demokrasi akan segera di mulai pada tanggal 14 Februari 2024. Lebih jelasnya utarakan saja perihal pilpres. Dimana ada beberapa nama bakal calon presiden yang booming hendak berkompetisi dalam laga pemilu nanti. Semua publik memiliki tafsir berbeda-beda terhadap semua bakal calon diantaranya  Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anis Baswedan, Airlangga Hartanto, Muhaimin Iskandar. Nama tersebut adalah putra terbaik bangsa yang justru memiliki komitmen tinggi terhadap alasan berdirinya negara. Meskipun ada banyak asumsi bahwa kesemuanya hampir tidak ada nilai baiknya di mata pendukung lainnya. Bahkan ada yang mendiskreditkan. Ini budaknya imperialis !, ini budaknya komunis !, ini budaknya darul Islam. Bagi saya ini menjadi penyanderaan stigma negatif terhadap keberlangsungan demokrasi tersebut dan akan menjadi petaka di kemudian hari. Saling tuduh transnasional, antek asing dan lain sebagainya. Jika genderang ini jadi titik fokus yang seringkali di tabuh justru hanya menciptakan bom waktu yang berkepanjangan. Kemungkinan besar akan dapat merugikan bangsa Indonesia itu sendiri.  


Kita harus sadar dan menyadari bahwa kekuatan yang paling besar dan tidak ada tandingannya bukan soal siapa yang menang dan kalah nanti, tetapi ada yang jauh lebih penting kuatnya dari pada itu ialah cinta kasih dan sayang sebagai satu bangsa. Di tengah pusaran realitas politik penting kiranya agenda-agenda kemanusiaan mendapatkan tempat yang paling prioritas dan tertinggi dari sekadar hanya berebut kekuasaan. Jangan paksa rakyat ikut serta agar mendiskreditkan figur terbaik lainnya. Harus berkompetisi dengan bijaksana tanpa menggunakan nafas tendensius sebagai alat satu-satunya menghabisi figur lain. Tingkatkan kualitas politik kita dengan menghapus stigmatisasi negatif. Berkampanye dengan program kerja nasional, bukan berkampanye dengan program kebencian. Tebar sana tebar sini, hasut sana hasut sini. Jika cara ini yang menjadi investasi konflik sosial, secara tidak langsung menanam benih faham radikalisme yang sangat anomali dengan alasan berdirinya suatu bangsa dan negara Indonesia. Dan ini menjadi ranjau kehancuran suatu bangsa yang tersimpan dengan rapi. 


Kita tahu misalnya bahwa irisan-irisan politisasi agama hari ini masih sangat masif dan sistematis. Ia tersebar di banyak sendi-sendi post strategis negara, dan kelompok ormas yang ekstrim dan bahkan cenderung radikal. Kelompok politisasi agama ini sering melakukan upaya-upaya pembentukan barisan khusus yang mana pesantren menjadi sasaran empuk untuk di jadikan basis utamanya dengan semboyan "Indonesia mayoritas muslim". Bahkan menganggap partai yang tidak berbasis Islam adalah kafir. Ia datang ke pesantren satu ke pesantren lain sekedar menjahit kebencian yang kemudian berorientasi pada pembangkangan terhadap negara. 


Kemudian irisan-irisan yang berbasis kiri hari ini menganggap dirinya terkuat. Selalu melakukan pembelaan terhadap keutuhan NKRI dengan segala resiko yang di hadapi. Pertanyaan besarnya kenapa politisasi agama hari ini menjadi populer ?. Kalau kita lihat ujung pangkal nya memang berorientasi akan mendirikan Darul Islam. Selain itu, memang ini peninggalan beberapa pemimpin di negara masa lalu yang intervensi terhadap keberlangsungan kelompok agama. Yang kemudian di pelihara menjadi budak politik. Hingga akhirnya sekarang sebagian kelompok agama umpan balik budak politik itu terhadap keberlangsungan negara.  Sementara negara hari ini tidak sama sekali ingin melibatkan tekstualisasi agama di dalam pelaksanaannya. Bahkan negara kerap kali membuat peraturan untuk melindungi sesama perbedaan keyakinan antar bangsa. 


Sangat berbahaya kompetitor pilpres menjelang pemilu 2024. Sebab titik kulminasi dinamika politik hari ini adalah politik identitas dan politisasi agama yang menjadi tagline. Ini yang kemudian membelah keutuhan negara. Energi bangsa ini habis hanya dalam waktu 5 tahunan. Menciptakan jarak persaudaraan. Menumbalkan kemanusiaan. Menodai kesucian agama. Jika demikian yang menjadi pertaruhan mindset politiknya, maka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanya menjadi tumpukan rel baja yang berkarat. 


Bagi saya !. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kemanusiaan adalah perisai perjuangan pergerakan politik berkeadaban dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.  Percaturan dinamika elit politik yang kian semakin tegang di tambah lagi oleh irisan-irisan di akar rumput yang telah terbentuk fanatisme. Ada baiknya politik identitas dan politisasi agama harus di ganti dengan politik kemanusiaan. Sebagaimana pitutur Gus Dur " yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan ". Pada hakikatnya kemanusiaan adalah satu. Sebagaimana pitutur Bung Karno " Mankind is one : Kemanusiaan adalah satu " . Kesulitan sebagai manusia politik memang untuk menginternalisasikan nilai tersebut. Jika di hadapkan dengan realitas sosial politik hari ini. Ketegangan yang mungkin akan sulit untuk bergandengan tangan. Bahkan dalam persaudaraan bisa jadi musuh dalam keluarga. Jika demikian akan rugi besar bangsa ini apabila menempatkan politik di atas segala-galanya dan apatis terhadap nilai-nilai kemanusiaan. 


Kontestasi politik ini harus menjadi bejana untuk masa depan politik kemanusiaan. Kita segera kembali pada nilai satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air Indonesia. Renungkan sejenak secara perlahan dan lihat lah hati ini bahwa di situ ada doa persaudaraan dan kerukunan yang harus kita peluk dengan penuh cinta kasih sayang sesama bangsa Indonesia. Budaya, adat istiadat, ras, suku, bahasa, tradisi, agama, gunung, pulau, samudra, dan dengan seluruh keindahan alam nya adalah pemersatu Bangsa Indonesia yang harus kita bangun segalanya diatas cinta kasih sayang. Kita tidak punya kekuatan apa-apa, selain bangsa ini benar-benar bersatu untuk mencapai tujuan kebahagiaan anak cucu kita di masa yang akan datang. Oleh karenanya jangan sekali kali mewariskan konflik sosial politik. Yang justru itu menjadi ranjau kehancuran masa depan generasi penerus bangsa Indonesia. 


Saya insan biasa penuh salah dan lupa, berharap kepada sesama elit politik dan seluruh elemen masyarakat dimana pun berada. Mari politik kemanusiaan kita tekan menjadi nafas kerukunan, persaudaraan, perdamaian dan kebahagiaan bersama demi perkuat NKRI. Ini lah jalan politik Indonesia dengan saling merangkul, gotong royong, bergandengan tangan dalam membangun Indonesia menjadi mercusuar dunia. Jalan politik ini akan mulia di hadapan para pahlawan dan pendiri Republik Indonesia. Berkat jasa pahlawan kita bisa hidup bebas dari kungkungan kolonialisme. Sebagai bentuk pengabdian dan cinta terhadap tanah air Indonesia. Maka tidak salah sebagai insan biasa kita menghargai jasa pahlawan. Seperti halnya Bung Karno menitip pesan cintanya " Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawan ".  Semua kita perjuangkan hanya untuk mencapai keutuhan NKRI.

Bagikan:

Komentar