|
Menu Close Menu

FGD, Willy Aditya Sebut Dewan Bukan Sopir Angkot yang Kejar Setoran UU

Sabtu, 27 Januari 2024 | 07.18 WIB

 

Willy Aditya, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. (Dok/Istimewa).

Lensajatim.id, Jakarta-  Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya menegaskan bahwa kinerja legislasi di DPR RI tentu tidak bisa memuaskan semua pihak. Pasalnya, DPR bukanlah lembaga pemuas kepentingan, bukan juga sopir angkot yang harus kejar setoran undang-undang.


"Baleg DPR perlu menyampaikan beberapa dinamika secara khusus terkait pencapaian dialektika dan pasang surut proses legislasi di Senayan," ungkap Willy Aditya saat menyampaikan materi secara daring dalam Forum Group Discussion (FGD) DPR REWIND 2023 bertema 'Menilik Belakang Panggung Perwakilan Rakyat, Membedah Kinerja DPR 2023' yang berlangsung di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (25/1).  


Dijelaskan Willy, tahun lalu (2022), DPR menghasilkan 18 produk undang-undang dari target 39 produk legislasi nasional. Angka itu masih jauh dari target legislasi yang dicanangkan, tapi bukan berarti kinerja dewan dalam menghasilkan undang-undang tidak memuaskan.


"Asumsinya, selalu saja kita seperti sopir angkot yang harus dikejar, yang harus diburu dengan setoran-setoran berapa undang-undang yang sudah diselesaikan. Kita kadang-kadang lupa bagaimana kualitas dari produk perundang-undangan yang kita lahirkan," keluhnya.


Ditegaskan Willy, dari 18 produk undang-undang yang berhasil disahkan menjadi undang-undang, ada beberapa milestone penting yang cukup berpengaruh dalam kehidupan bernegara kita.


Pertama, bagaimana dewan berhasil meletakkan atau mengesahkan Undang-Undang Omnibuslaw Sektor Kesehatan.


"Ini merupakan undang-undang omnibuslaw ketiga setelah UU Cipta Kerja dan UU Omnibuslaw Sektor Keuangan," jelas Willy.


Ditambahkannya, dalam UU Omnibuslaw Sektor Kesehatan, DPR bersama pemerintah berhasil merangkum sembilan undang-undang kesehatan menjadi suatu undang-undang.


Itu merupakan sebuah lompatan sangat strategis dalam sektor kesehatan bagi rakyat Indonesia. Undang-undang itu belajar dari best practice di banyak negara di mana pendidikan kedokteran harus base on hospital, rumah sakitlah yang menjadi kawah candradimuka-nya.


"Di sana, kampus bukan lagi satu-satunya unit untuk menyelenggarakan pendidikan tapi bagaimana antara teori dan praktik terkoneksi link and match secara langsung. Dan kita bisa mematahkan adegium pendidikan sebagai menara gading," paparnya.


Poin kedua dari UU Kesehatan yang sangat progresif itu, tambah Willy, bagaimana anak-anak didik, mahasiswa dari daerah mendapatkan beasiswa dan kemudian dikembalikan ke daerah yang mengirim mereka. itu merupakan obligasi yang banyak dituntut masyarakat.


Legislator NasDem dari Dapil Jawa Timur XI (Bangkalan, Pamekasan, Sampang, Sumenep) itu juga mengatakan, selama ini distribusi tenaga kesehatan, khususnya dokter sangat tersentral di Jawa atau di beberapa wwilayah saja. Akibatnya, ada puskesmas tapi tidak memiliki dokter apalagi dokter spesialis.


"Nah di dalam Undang-Undang Kesehatan yang kita sahkan tahun 2023, kita meletakkan bagaimana mereka-mereka yang dari daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) itu dikembalikan," ujarnya.


Selain itu, lanjutnya, DPR juga berhasil melakukan revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang selama ini dianggap menjadi ancaman dalam kehidupan demokrasi. Itu bisa dilihat dari banyaknya kasus terkait pencemaran nama baik, bahkan ada yang awalnya menjadi pelapor, namun berbalik menjadi tersangka.


"Nah, revisi UU ITE meletakkan bagaimana pasal-pasal karet, terkhusus tentang pencemaran nama baik itu kita bisa diselesaikan," tukas Willy.


Terakhir, DPR juga telah mengesahkan revisi UU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang merupakan produk legislasi yang banyak ditunggu para pegawai honorer di seluruh Indonesia.


"Undang-Undang ASN ini kabar gembira, kabar baik bagaimana tenaga honorer menjadi tenaga kontrak (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja/PPPK)," jelasnya.


Walau demikian, Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI itu menyatakan tidak semua undang-undang yang dihasilkan bisa diterima semua pihak, bahkan mendapat komplain.


"Ingat, DPR bukan lembaga pemuas, tapi lembaga politik yang memiliki proyektif dan perspektif jangka panjang dalam rangka mengakomodasi kepentingan rakyat," tegasnya. (Red)

Bagikan:

Komentar