Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem. (Dok/Istimewa). |
Oleh Moch Eksan
Lensajatim.id, Opini- Sehari sebelum audisi para calon menteri Presiden Terpilih Jenderal (Purn) TNI Prabowo Subianto hilir mudik di Jl Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ada pernyataan sikap dari DPP Partai NasDem. Bahwa, NasDem tak menempatkan kadernya di kabinet, kendati tetap mendukung dan menjadi bagian dari pemerintahan pasca Jokowi.
Sekjen DPP Partai NasDem, Hermawi Taslim mengatakan bahwa NasDem lebih senang politik gagasan diterima dalam kebijakan negara dari pada secara fisik berada dalam kabinet. Wakil Ketua Umum, Saan Mustopa juga menimpali, tak elok meminta jatah kursi kabinet, sementara NasDem pada Pilpres 2024 lalu mendukung pasangan lain. Yakni pasangan Anies Rasyid Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar.
Barangtentu, sikap NasDem ini keluar dari kelaziman teori dan tradisi koalisi dimana pun di belahan dunia. Namanya, koalisi merupakan pengabungan beberapa partai dalam mengusung pasangan calon, dan pembentukan pemerintahan serta penguatan koalisi partai di parlemen.
Ketua Fraksi NasDem DPR RI, Viktor Laiskodat menambahkan, Ketua Umum Surya Paloh telah memberi dukungan penuh terhadap pemerintahan Prabowo semenjak diumumkan KPU sebagai pemenang. Melalui 69 anggota, NasDem akan berkontribusi secara fisik, fikiran dan tenaga membantu memastikan pemerintah sukses melaksanakan visi, misi dan programnya.
Dengan demikian, NasDem bukan sekadar melawan arus persepsi para pengamat, bahwa masuknya partai ini dalam pemerintahan untuk mendapat jatah kursi menteri. Namun, ternyata membuat praktek politik baru dalam spektrum teori koalisi yang sudah mapan, seperti yang disampaikan oleh Andrew Heywood, Shively dan lain-lain.
Setelah NasDem memperkenalkan politik tanpa mahar dalam praktek kandidasi calon presiden, gubernur dan atau bupati/walikota, kini mulai mengenalkan koalisi tanpa kursi.
Padahal, kata Edmund Burke, Sigmund Neumann, dan RH Soltau mengemukakan, bahwa orang atau sekelompok orang mendirikan partai sebagai alat memperjuangkan kepentingan, sarana merebut kekuasaan dalam pemerintahan, dan wadah mengeluarkan kebijakan umum serta mengelola anggaran publik demi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Sikap NasDem sebenarnya tak aneh, bila mengerti jalan pemikiran Surya Paloh yang lebih memaknai berpolitik dan berpartai sebagai sarana mewujudkan pengabdian dan bukan semata sarana merebut kekuasaan. Jelas, sikap ini memudahkan Prabowo untuk menyusun kabinet tanpa dibebani kursi NasDem. Sekaligus, memberi kesempatan partai pengusungnya sedari awal mendapat jatah yang proporsional.
Dalam konteks ini, NasDem keluar dari tradisi koalisi yang jamak berlaku selama ini. Bahwasannya, makna koalisi adalah power sharing (bagi-bagi kekuasaan). Tentu dengan mendukung atau bergabung dengan pemerintah, biar dapat kursi kabinet dengan bersama-sama anggota koalisi lain mengelola pemerintahan.
Nampaknya, NasDem tak mau mengecewakan ekspektasi koalisi partai pengusung Prabowo. Jabatan menteri itu bukan "sesuatu" sandungan dalam mendukung pemerintahan. Dengan sistem presidensialisme, presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan punya hak prerogatif yang tak boleh diganggu oleh siapa pun, hatta wakil presiden sekalipun. NasDem sangat menyadari sistem ini dengan segala konsekuensinya.
Sebagai new comer dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), NasDem tak mau menjadi ancaman, apalagi hendak mengusik jatah kursi menteri dari partai-partai yang telah mengusung sebelumnya. Sebab, NasDem bukan "pelakor" yang menganggu kenyamanan kongsi orang.
Jadi, sikap NasDem tak masuk dalam kabinet, merupakan penjabaran lebih jauh dan dalam dari doktrin koalisi tanpa syarat yang dijunjung tinggi oleh partai selama ini. Terbukti, penggantian menteri dari partai NasDem dalam kabinet Jokowi tak pernah diributkan. Termasuk pengurangan dua jatah menteri di kabinet Jokowi yang terakhir digantikan dari kelompok lain. Seperti Menteri Kominfo, John G Plate dan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.
Semua itu, menunjukkan NasDem menerima keputusan Presiden Jokowi mengisi Kominfo dan Kementan dari tokoh luar NasDem. Malahan, NasDem tetap mendukung pemerintahan Jokowi sampai masa jabatannya selesai.
Seperti diakui oleh Jokowi sendiri, memang NasDem dan Jokowi tak selalu sejalan. Terutama dalam Pilpres 2024. Tetapi, itu wajar sebagai dinamika hubungan antar keduanya. Yang pasti, hubungannya sangat natural, alami, nyata dan apa adanya.
Surya Paloh berulang-ulang mengingatkan, bahwa nilai-nilai persahabatan harus diletakkan di atas kepentingan elektoral apa pun, apalagi sekadar bagi-bagi kursi kekuasaan. Disinilah, koalisi tanpa kursi NasDem harus dimaknai oleh para kader, pemerintah berkuasa dan mayarakat umum.
Moch Eksan adalah Pendiri Eksan Institute dan Penulis Buku "9 Asketisme Politik Konstribusi Surya Paloh Dalam Merestorasi Politik di Indonesia".
Komentar