Ilustrasi. (Dok/Istimewa). |
Oleh : A Dardiri Zuhairi
Lensajatim.id, Opini- Mengikuti pertarungan pilkada hari ini, saya menemukan fakta menarik. Sesuatu yang menarik ini tidak saya temukan pada pilkada sebelumnya. Apa itu? Kegairahan masyarakat akar rumput mendukung calonnya. Tidak cukup itu. Mereka militan. Gerakan mereka massif. Spontan. Tanpa ada kekuatan modal yang menggerakkannya. Atau tanpa ada kekuasaan yang memaksanya.
Inilah fakta menarik yang saya saksikan pada kubu FINAL (KH Ali Fikri dan KH Unais Ali Hisyam). Menjadi penting ditanyakan, kenapa fakta menarik ini baru muncul sekarang? Kenapa dukungan akar rumput secara simultan dan spontan diarahkan kepada pasangan FINAL?
Sebelum menjawab saya akan menggambarkan gerakan akar rumput di Kecamatan Gapura. Kecamatan ini tahun kemarin juga menjadi penyumbang tertinggi bagi KH Ali Fikri ketika menjadi calon wakil Bupati di tahun 2019
Gerakan akar rumput di kecamatan Gapura tanggal 26 September kemarin mengadakan deklarasi dukungan kepada pasangan FINAL. Yang hadir melebih undangan yang disebar. Undangan sekitar 400, yang hadir sekitar 500 orang. Bahkan beberapa orang dari kecamatan lain di wilayah Timur Daya. Ikut hadir waktu itu KH Ali Fikri selalu calon Bupati dan KH Latfan Habibi.
Yang menarik semua fasilitas (konsumsi, akomodasi, transportasi, dokumentasi)yang dibutuhkan pada deklarasi itu merupakan sumbangan warga. Nasi untuk peserta sumbangan dari banyak ibu-ibu. Ada yang nyumbang 50, 25,15 atau 10 bungkus sesuai kemampuan penyumbang. Banner, sound, dan sewa terop juga dari warga. Tak ada yang transport, mereka datang merogoh kocek sendiri.
Bahkan pada acara deklarasi tersebut terkumpul donasi dari warga yang hadir lebih dari 6 juta. Angka itu kecil bagi "Strong Local Man". Tapi di balik angka itu ada kekuatan besar untuk mendekonstruksi propaganda "kalau gak ada uang gak bakal jadi". Keluar dari jebakan propaganda ini saja bagi saya adalah kekuatan luar biasa. Satu bentuk perlawanan semut terhadap gajah.
Ternyata gerakan akar rumput atau gerakan arus bawah ini tidak hanya terjadi di Gapura. Di Ganding, Rubaru, Bluto, Pragaan, Batang-Batang, dan kecamatan lainnya juga melakukan gerakan yang sama. Menarik di Batang-Batang justru ada seorang warga yang menyumbang ayam, karena ia tidak memiliki uang untuk disumbangkan. Adakah fenomena ini terjadi pada pilkada sebelumnya? Dimana calon tidak sekedar ddukung, tetapi juga dicintainya.
Dengan mudah analis (seperti Rektor UNIBA) mengatakan bahwa ini bentuk mobilisasi santri untuk kepetingan pilkada yang menurutnya tidak sesuai dengan pendidikan pesantren (soal ini kalau ada kesempatan saya akan menulis tanggapan secara khusus). Bahkan katanya bertentangan dengan nilai agama (ampun dah!). Ini analisis sumir. Kalau saya balik, menurut Rektor yang bener itu yang menggunakan modal dan jaringan birokrasi hingga desa? Itu yang dimaksud pemilih rasional? Gitu pak Rektor? Kemmon beb..!
Bahwa pasangan FINAL banyak didukung jaringan santri, it's oke. Karena memang Sumenep basis santri. Tapi ini tak cukup dijelaskan dengan perspektif relasi santri-guru. Ada alasan yang lebih besar dari fenomena politik perlawanan dan gerakan arus bawah yang militan dan mandiri. Apa itu? Kemuakan pada pemerintahan bayangan (shadow government) yang dikendalikan oleh kekuatan modal dan birokrasi. Kekecewaan pada pemerintah yang selama ini sibuk membangun citra ketimbang menyapa rakyatnya. Kekecewaan pada pemerintah yang tak pernah membuka ruang bagi rakyatnya untuk mengukuhkan partisipasi sejati.
Pemerintahan sangat top-down. Powerfull dan sangat PD dengan kekuatan "orang di belakang platuk" (the man behind the gun). Menggelar karpet merah sama investor. Menyempitkan ruang hidup rakyat dengan banyaknya alih fungsi lahan. Mengalihkan persoalan riil rakyat dengan menggelar industri hiburan.
Inilah saya rasa yang luput dari analis seperti Rektor UNIBA tadi. Fenomena gerakan arus bawah yang militan bergerak di akar rumput melawan kekuatan modal dan jaringan birokrasi tanpa takut, merupakan ekspresi kekecewaan atas situasi politik hampir dua dekade ini. Perlawanan politik Semut melawan Gajah.
NB : Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Komentar