![]() |
Ning Lia, Anggota DPD RI.(Dok/Istimewa). |
“Kami mendukung langkah pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan pajak. Namun, kebijakan ini harus dikawal agar tidak memukul pelaku usaha lokal, khususnya UMKM yang sedang tumbuh melalui platform digital,” ujar Lia Istifhama, yang akrab disapa Ning Lia, Selasa (1/7/2025).
Ning Lia menekankan pentingnya membangun kepercayaan publik bahwa pajak yang dibayarkan benar-benar kembali untuk kesejahteraan rakyat. Ia berharap pemerintah tidak hanya fokus pada pemasukan negara, tetapi juga memastikan kebijakan fiskal mendukung transformasi digital.
“Pajak seharusnya menjadi katalisator, bukan penghambat. UMKM lokal perlu dilindungi, bukan justru menjadi korban di tengah ketimpangan yang ada,” tegas Keponakan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa ini.
Ning Lia juga menyoroti ketimpangan dalam pengenaan pajak terhadap perusahaan teknologi global. Menurutnya, justru pendapatan iklan digital yang mengalir ke perusahaan asing seperti Google, Meta, TikTok, Apple, dan Amazon belum dikenakan PPh secara proporsional.
“Pendapatan besar dari iklan dan layanan digital banyak dinikmati korporasi asing, tetapi kontribusi pajaknya di Indonesia sangat minim. Sementara UMKM lokal malah harus menghadapi beban baru,” ujar Tokoh Nahdliyin Inspiratif Versi Forkom Jurnalis Nahdliyin (FJN) ini.
Kondisi ini, lanjut Ning Lia, juga berdampak pada media arus utama di Indonesia. Menurunnya pendapatan iklan membuat media lokal semakin tertekan, karena pengiklan lebih memilih platform global yang tidak dikenakan pajak sepadan.
“Keuntungan mereka mengalir ke luar negeri, tapi kontribusi ke negara nyaris tidak ada. Ini jelas tidak adil,” imbuhnya.
Sebagai solusi, Ning Lia mendorong agar pemerintah merumuskan kebijakan fiskal digital yang lebih komprehensif dan berkeadilan. Ia mencontohkan kebijakan Digital Services Tax (DST) di Kanada yang menyasar perusahaan digital asing dengan omzet besar, dan diberlakukan secara retroaktif sejak 2022.
“Jika pembahasan pajak digital global di OECD belum mencapai kesepakatan, Indonesia bisa mengambil langkah sendiri seperti Kanada,” sarannya.
Ia juga menyoroti pentingnya transparansi dalam penarikan dan penggunaan pajak, agar tidak menurunkan kepercayaan masyarakat.
“Finlandia misalnya, punya tarif pajak tinggi, tapi warganya paham untuk apa pajak itu digunakan. Kejujuran dan kepercayaan menjadi kunci agar pajak diterima tanpa resistensi,” ungkap Ning Lia.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa kebijakan ini bukan pajak baru, melainkan penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas transaksi pedagang dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun.
“UMKM orang pribadi dengan omzet di bawah Rp500 juta tetap tidak dikenakan pajak,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli.
Meski begitu, asosiasi marketplace menyatakan masih menunggu regulasi teknis yang sedang difinalisasi. Mereka berharap ada sosialisasi yang jelas agar kebijakan ini tidak menimbulkan kebingungan dan gejolak di lapangan. (Had)
Komentar