|
Menu Close Menu

Ketika Emosi Mengalahkan Kebenaran

Selasa, 07 Oktober 2025 | 06.42 WIB

 


Oleh: H. Musaffa Safril

(Ketua PW GP Ansor Jawa Timur)


Lensajatim.id, Opini- Steve Tesich, seorang penulis, dramawan, dan novelis berdarah Serbia-Amerika yang dikenal luas karena karya-karyanya di bidang sastra dan pemikiran sosial. Ia meraih penghargaan Academy Award untuk Best Original Screenplay pada tahun 1979 melalui film Breaking Away. Namun, kontribusi penting Tesich bukan hanya dalam dunia seni, tetapi juga dalam pemikiran kritis tentang masyarakat modern.


Salah satu esainya yang paling terkenal berjudul “A Government of Lies”, diterbitkan di majalah The Nation pada 6 Januari 1992. Dalam tulisan tersebut, Tesich membahas kebohongan publik dan dampaknya terhadap kepercayaan masyarakat terhadap institusi. Esai ini terinspirasi dari skandal Watergate (1972–1974), ketika pemerintahan Presiden Richard Nixon terbongkar melakukan penyadapan dan menutupi kejahatan politik terhadap lawan-lawan politiknya. Skandal ini akhirnya memaksa Nixon mengundurkan diri pada tahun 1974.


Namun, dari peristiwa besar itu, Tesich mencatat satu hal yang lebih mengkhawatirkan daripada kebohongan itu sendiri: publik tampaknya mulai tidak peduli lagi pada kebenaran politik. Setelah kebenaran terbongkar dan Nixon jatuh, masyarakat justru memilih untuk “tidak tahu” dan membiarkan pemerintah terus berbohong selama hidup mereka tetap nyaman.


Dari refleksi tersebut, Tesich menyebut Amerika telah berubah menjadi “a government of lies”  pemerintahan yang berdiri di atas kebohongan. Bukan semata-mata karena para penguasa yang berbohong, tetapi karena publik sendiri yang menerima dan membiarkannya. Dari sinilah pula lahir istilah yang kini sangat relevan: “post-truth”, yakni kondisi ketika kebenaran objektif tidak lagi menjadi faktor utama dalam membentuk opini publik.


Kini, tiga dekade setelah istilah itu diperkenalkan, kita hidup dalam zaman post-truth yang jauh lebih kompleks. Perkembangan pesat media sosial membuat batas antara fakta, kebohongan, dan emosi semakin kabur. Informasi menyebar begitu cepat tanpa sempat diverifikasi. Yang sering dipercaya bukanlah yang benar, melainkan yang paling sesuai dengan perasaan, keyakinan, atau kepentingan kelompok.


Dalam ruang digital yang riuh, kebenaran hakiki sering tersisih, tergantikan oleh narasi-narasi yang menyentuh emosi meskipun tak berdasar fakta. Akibatnya, opini publik mudah dibelokkan, kepercayaan terhadap institusi menurun, dan perpecahan sosial semakin dalam. Kita menghadapi tantangan besar: bagaimana menjaga kejernihan akal sehat di tengah banjir informasi yang sering menipu, dan bagaimana memastikan kebenaran tetap menjadi pijakan bersama bukan sekadar pilihan berdasarkan selera atau kemarahan sesaat.


Kita perlu ingat, sesuatu yang diyakini oleh banyak orang belum tentu benar secara hakiki. Kebenaran tidak ditentukan oleh seberapa banyak orang yang percaya, tetapi oleh keteguhan pada fakta dan nilai yang tidak bisa diputarbalikkan oleh opini publik. Allah Swt. mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:


وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي ٱلْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka hanyalah membuat kebohongan."

QS. الأنعام (6) : 116


Ayat ini menegaskan bahwa kebenaran tidak ditentukan oleh jumlah mayoritas, tetapi oleh kesesuaiannya dengan petunjuk Allah dan fakta yang objektif.


Di era post-truth, kita sering terjebak dalam ilusi bahwa yang populer pasti benar dan yang viral pasti nyata. Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa kesalahan bisa dielu-elukan, kebohongan bisa disambut meriah, dan kezaliman bisa dibenarkan, hanya karena mayoritas memilih untuk tidak berpikir kritis. Rasulullah ﷺ telah jauh-jauh hari memperingatkan tentang bahayanya mengikuti kebohongan dan menyebarkannya tanpa tabayyun:


كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

"Cukuplah seseorang disebut pendusta ketika ia menceritakan setiap yang ia dengar."

 (رواه مسلم)


Hadis ini mengajarkan agar kita tidak mudah menyebarkan informasi tanpa verifikasi, sebuah prinsip penting dalam menghadapi era post-truth saat ini.


Karena itu, tugas kita bukan sekadar mengikuti arus, tetapi menegakkan kebenaran meskipun harus berjalan melawan mayoritas. Sebab hakikat kebenaran tidak lahir dari keramaian suara, melainkan dari keteguhan hati dan kejernihan akal dalam membedakan yang hak dari yang batil. Allah Swt. berfirman:


يَا أَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِٱلْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ أَوِ ٱلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu."

— QS. النساء [4]: 135


Ayat ini menuntut keberanian moral untuk membela kebenaran meskipun tidak populer dan bahkan jika itu bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau kelompok kita.


Untuk memverifikasi kebenaran, kita perlu memeriksa sumber informasi, memastikan ada bukti yang dapat dipercaya, membandingkannya dengan sumber lain, serta menggunakan logika dan akal sehat. Penting juga memahami konteks secara utuh dan menilainya berdasarkan prinsip keadilan dan kemanusiaan.


Imam Al-Ghazali رحمه الله berkata:


الحَقُّ لا يُعْرَفُ بالرِّجَالِ، اعْرِفِ الحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ

"Kebenaran tidak diukur dari siapa yang mengatakannya. Kenalilah kebenaran, maka engkau akan mengenal siapa yang benar."


Pesan ini mengingatkan kita untuk tidak menilai kebenaran berdasarkan identitas pembawa pesan, tetapi berdasarkan substansi dan bukti yang menyertainya.


Di sinilah peran literasi menjadi sangat penting. Literasi bukan hanya kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan memahami, menganalisis, menilai, dan menggunakan informasi secara kritis dan bijak. Dengan literasi yang baik, seseorang tidak mudah tertipu oleh hoaks, tidak gampang terombang-ambing oleh opini, dan mampu membedakan antara fakta dan manipulasi.


Literasi adalah perisai dari kebohongan sekaligus kunci untuk menemukan kebenaran di tengah derasnya arus informasi yang sering menyesatkan. Lebih dari itu, literasi membentuk cara berpikir yang jernih, sikap yang terbuka, dan keputusan yang bijaksana, semua hal yang dibutuhkan agar masyarakat tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga penentu arah peradaban.


Sebagaimana nasihat Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه:


اعْرِفِ الحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ، وَلَا تَعْرِفِ الحَقَّ بِالرِّجَالِ

"Kenalilah kebenaran, maka engkau akan mengenal siapa yang benar. Jangan kenali manusia untuk menentukan kebenaran."


Maka, dalam zaman yang penuh kabut informasi ini, marilah kita kembali kepada fondasi: mencari, membela, dan hidup dalam kebenaran, meskipun harus berjalan melawan arus. Sebab kebenaran tidak akan pernah pudar, selama ada mereka yang teguh memperjuangkannya.

Bagikan:

Komentar