![]() |
| Nadianto, S.H, M.H, Pengacara sekaligus Pemerhati Hukum.(Dok/Istimewa). |
Pengacara sekaligus pemerhati hukum, Nadianto, S.H., M.H., mengungkapkan bahwa permasalahan utama terletak pada belum diakuinya AI sebagai subjek hukum dalam sistem perundang-undangan Indonesia.
“Pertanyaan mendasarnya: siapa yang bertanggung jawab jika hasil buatan AI menimbulkan kerugian, apakah pengembang, pengguna, atau penyedia platform?” ujarnya, Kamis (13/11).
Menurut Nadianto, dalam konteks hukum positif Indonesia, perlindungan hak cipta masih mensyaratkan adanya pencipta yang “berjiwa manusia”. Artinya, karya yang dihasilkan AI tidak secara otomatis mendapatkan perlindungan hak cipta. Dengan demikian, tanggung jawab hukum atas konten yang dihasilkan AI tetap berada di tangan manusia yang mengoperasikan, mengarahkan, atau memanfaatkan teknologi tersebut.
Lebih lanjut, Nadianto menjelaskan bahwa penggunaan teknologi AI memiliki potensi besar memunculkan berbagai pelanggaran hukum. Salah satunya adalah pencemaran nama baik dan penyebaran berita palsu (hoaks) melalui konten yang dihasilkan tanpa verifikasi manusia. Selain itu, pelanggaran hak cipta dan praktik plagiarisme digital juga menjadi persoalan serius ketika karya buatan AI menyerupai hasil karya seseorang tanpa izin.
Ia juga menyoroti ancaman kebocoran data pribadi akibat penggunaan AI yang tidak sesuai prinsip perlindungan privasi. Penggunaan data pribadi untuk melatih sistem AI tanpa persetujuan pemilik data dapat menimbulkan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Di sisi lain, manipulasi gambar dan video (deepfake) menjadi isu yang mengkhawatirkan karena dapat digunakan untuk kepentingan politik, propaganda, maupun eksploitasi komersial yang merugikan pihak lain.
Nadianto menegaskan bahwa kondisi tersebut menunjukkan perlunya langkah cepat dan tegas dari pemerintah dalam memperkuat kerangka hukum di bidang teknologi digital. “Kita perlu revisi aturan di bidang Hak Cipta, Perlindungan Data Pribadi, serta membentuk regulasi khusus yang mengatur tanggung jawab penyedia layanan AI. Tanpa itu, masyarakat bisa menjadi korban dari kekosongan hukum,” tegasnya.
Ia juga mendorong adanya kolaborasi lintas sektor antara akademisi, praktisi hukum, pelaku industri teknologi, dan pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang seimbang antara perlindungan hukum dan inovasi. Menurutnya, regulasi yang tepat tidak hanya mencegah penyalahgunaan AI, tetapi juga membuka ruang bagi pengembangan teknologi yang etis dan bermanfaat bagi masyarakat.
“AI bukan ancaman, tapi harus diatur agar menjadi alat yang bermanfaat dan adil bagi semua pihak,” pungkasnya.
Dengan semakin meluasnya pemanfaatan AI di berbagai sektor kehidupan, pandangan Nadianto menjadi pengingat penting bahwa kemajuan teknologi harus berjalan beriringan dengan kepastian hukum agar tidak menimbulkan kerugian sosial maupun moral di masyarakat. (Yud)


Komentar