|
Menu Close Menu

Bencana Banjir di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh: Faktor Ekologis, Keserakahan, atau Kebijakan Pemerintah yang Salah? Apa Solusinya?

Minggu, 21 Desember 2025 | 15.53 WIB


Oleh: A. Effendy Choirie

Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS)

Pendahuluan

Lensajatim.id, Opini- Bencana banjir yang berulang di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh, tidak lagi dapat dipahami sebagai sekadar peristiwa alam. Intensitas yang semakin sering, cakupan wilayah yang meluas, serta dampak sosial-ekonomi yang kian berat menunjukkan bahwa banjir telah bertransformasi menjadi bencana struktural. Kondisi ini menuntut pembacaan yang lebih jernih dan mendalam: apakah banjir semata-mata disebabkan oleh faktor ekologis, merupakan akibat dari keserakahan manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam, atau justru lahir dari kebijakan pemerintah yang salah arah? Tulisan ini berupaya mengurai akar persoalan tersebut sekaligus menawarkan solusi strategis yang berpijak pada keadilan ekologis dan kesejahteraan sosial.


Banjir: Bencana Alam atau Bencana Buatan?

Secara geografis dan ekologis, Pulau Sumatra memiliki karakter wilayah dengan curah hujan tinggi, daerah aliran sungai (DAS) yang besar, serta bentang alam hutan hujan tropis yang seharusnya berfungsi sebagai penyangga alami. Dalam kondisi ideal, ekosistem tersebut mampu menyerap, menyimpan, dan mengatur aliran air secara seimbang. Namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Alih fungsi hutan secara masif, kerusakan DAS dan daerah resapan air, aktivitas pertambangan dan perkebunan skala besar tanpa kendali, serta tata ruang yang mengabaikan daya dukung lingkungan telah merusak sistem ekologis tersebut. Dengan demikian, banjir yang terjadi hari ini lebih tepat disebut sebagai bencana ekologis akibat ulah manusia, bukan semata kehendak alam.


Keserakahan Ekonomi dan Eksploitasi Sumber Daya Alam

Keserakahan ekonomi menjadi faktor dominan yang memperparah kerentanan lingkungan. Pembukaan hutan untuk perkebunan sawit, pertambangan, dan proyek properti dilakukan secara agresif, sering kali tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem. Pemberian izin konsesi yang melampaui daya dukung lingkungan, lemahnya pengawasan, serta minimnya penegakan hukum mencerminkan adanya konflik kepentingan antara elite ekonomi dan kekuasaan. Dalam banyak kasus di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh, masyarakat kecil harus menanggung dampak berupa banjir, kehilangan tempat tinggal, dan rusaknya mata pencaharian, sementara keuntungan ekonomi justru terakumulasi pada segelintir korporasi. Keuntungan diprivatisasi, sedangkan risiko disosialisasikan kepada rakyat.


Kebijakan Pemerintah: Salah Arah dan Lemah Implementasi

Persoalan banjir tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab negara. Kebijakan tata ruang kerap dikalahkan oleh kepentingan investasi jangka pendek, sementara Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sering kali direduksi menjadi formalitas administratif semata. Penegakan hukum lingkungan cenderung tebang pilih, dan upaya mitigasi bencana lebih bersifat reaktif daripada preventif. Ketika negara gagal menjalankan fungsi perlindungan lingkungan secara konsisten, maka yang dikorbankan adalah hak dasar warga negara atas rasa aman, lingkungan hidup yang sehat, dan kesejahteraan berkelanjutan.


Dampak Sosial: Rakyat Menanggung Beban Terberat

Banjir tidak hanya merusak rumah, lahan pertanian, dan infrastruktur publik, tetapi juga menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial. Mata pencaharian masyarakat terganggu, angka kemiskinan meningkat, serta akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan terputus. Lebih jauh, banjir menimbulkan trauma sosial yang mendalam, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan lansia. Pada titik ini, bencana banjir tidak lagi sekadar persoalan teknis kebencanaan, melainkan telah menjadi persoalan kesejahteraan sosial dan keadilan.


Solusi: Jalan Keluar yang Berkeadilan

Solusi pertama yang mendesak adalah reformasi kebijakan lingkungan. Pemerintah perlu memberlakukan moratorium izin di kawasan rawan ekologis, meninjau ulang konsesi tambang dan perkebunan yang merusak lingkungan, serta menegakkan hukum lingkungan secara tegas tanpa kompromi. Tanpa keberanian politik, kebijakan akan terus menjadi instrumen legitimasi eksploitasi.


Kedua, pemulihan ekologis harus dilakukan dengan pendekatan berbasis daerah aliran sungai. Rehabilitasi hutan dan daerah resapan air perlu dipercepat, disertai normalisasi sungai yang berbasis ekologi, bukan sekadar betonisasi yang sering kali memindahkan masalah ke wilayah lain. Pelibatan masyarakat adat dan komunitas lokal menjadi kunci, karena mereka memiliki pengetahuan dan kearifan dalam menjaga keseimbangan alam.


Ketiga, prinsip keadilan ekologis dan sosial harus ditegakkan. Korporasi wajib bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, bukan sekadar melalui kompensasi simbolik. Skema tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) perlu diarahkan secara nyata untuk pemulihan ekologis dan penguatan sosial masyarakat terdampak, disertai perlindungan khusus bagi kelompok rentan korban bencana.


Keempat, mitigasi dan kesiapsiagaan bencana harus berbasis komunitas. Pendidikan kebencanaan sejak dini, sistem peringatan dini yang menjangkau hingga tingkat desa, serta penguatan solidaritas dan kesetiakawanan sosial menjadi fondasi penting untuk mengurangi risiko dan dampak bencana di masa depan.


Peran Masyarakat Sipil dan DNIKS

Sebagai bagian dari masyarakat sipil, DNIKS mendorong advokasi kebijakan yang pro-lingkungan dan berpihak kepada rakyat. Selain itu, mobilisasi solidaritas sosial bagi korban bencana, pengawasan publik terhadap kebijakan pemerintah dan perilaku korporasi, serta pengarusutamaan prinsip “Sejahtera untuk Semua” menjadi agenda penting dalam membangun tata kelola lingkungan yang adil dan berkelanjutan.


Penutup

Banjir di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh merupakan cermin krisis relasi antara manusia, alam, dan negara. Selama keserakahan dibiarkan dan kebijakan yang salah arah terus dipertahankan, bencana akan menjadi rutinitas yang berulang. Solusi atas persoalan ini tidak cukup dengan membangun tanggul atau infrastruktur fisik semata, melainkan membutuhkan kesadaran kolektif, keberpihakan nyata, serta keberanian politik untuk menempatkan keselamatan rakyat dan kelestarian lingkungan di atas kepentingan sesaat.

Bagikan:

Komentar