|
Menu Close Menu

Perjalanan Saya dalam Menjaga Tradisi dan Disiplin Pencak Silat Pagar Nusa

Sabtu, 06 Desember 2025 | 10.55 WIB


Oleh: Alifiya Luthfa Ramadhani



Pendahuluan


Lensajatim.id, Opini-Pencak silat merupakan warisan budaya Indonesia yang kaya akan nilai filosofis, spiritual, dan sosial. Pada tahun 2019, UNESCO menetapkan pencak silat sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanity, sebuah pengakuan global bahwa seni bela diri ini bukan sekadar teknik pertarungan, tetapi juga sarana pembentukan karakter, kebersamaan, dan identitas nasional.


Pagar Nusa, badan otonom Nahdlatul Ulama yang menaungi para pecinta, praktisi, dan pendekar pencak silat NU, hadir sebagai organisasi yang menjaga kesinambungan tradisi pencak silat dalam bingkai keagamaan, moralitas, dan budaya pesantren. Bagi saya, yang menempuh perjalanan sebagai pesilat sejak di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas hingga di lingkungan Universitas Airlangga, Pagar Nusa adalah ruang pembelajaran yang membentuk disiplin, konsistensi, adab, dan jati diri.


Perjalanan ini bukan hanya tentang kemampuan fisik, tetapi tentang pemaknaan nilai, tanggung jawab, serta komitmen untuk menjaga tradisi di tengah perubahan zaman.




1. Pembentukan Karakter di Pesantren Tambakberas


1.1. Pagar Nusa sebagai bagian dari kultur pesantren


Selama dua tahun di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, saya menjalani latihan Pagar Nusa dalam lingkungan yang sarat nilai religius dan adab. Di pesantren, pencak silat bukan sekadar aktivitas fisik, melainkan bagian dari kultur pendidikan karakter.

Sebagaimana diuraikan oleh Zamakhsyari Dhofier (2011), pesantren memiliki tiga pilar utama pembinaan: ilmu, adab, dan amal. Ketiganya saya temukan dalam setiap sesi latihan Pagar Nusa.


1.2. Latihan yang dibangun atas adab, bukan ambisi fisik


Setiap latihan dimulai dengan:


doa bersama,


izin kepada pelatih,


penguatan niat,


penekanan disiplin dan ketertiban.



Pelatih di Tambakberas tidak hanya mengajarkan teknik pukulan, tangkisan, atau langkah, tetapi menekankan kesadaran batin: bahwa kekuatan tidak boleh menjadikan seseorang arogan. Inilah yang membuat silat di pesantren berbeda dari bela diri yang saya lihat di luar lingkungan tradisi.


1.3. Pembiasaan moral dan pengendalian diri


Di bawah bimbingan pelatih dan para senior, nilai-nilai berikut ditanamkan secara konsisten:


Tawadhu’: merendah di hadapan guru dan ilmu.


Ta’dzim: menghormati pelatih, kiai, dan sesama santri.


Amanah: menjaga kepercayaan, mulai dari hal kecil seperti ketepatan waktu.


Sabar dan konsistensi: karena perjalanan menjadi pesilat bukan proses instan.



Disiplin fisik dan kedisiplinan moral ini selaras dengan penelitian Dhofier dan berbagai kajian tentang pendidikan karakter di pesantren.


1.4. Makna mendalam dari sebuah tradisi


Bagi saya, Tambakberas adalah titik awal di mana pencak silat menjadi bagian dari identitas, bukan hanya keterampilan. Lingkungan pesantren menanamkan pemahaman bahwa silat harus selaras dengan akhlak, ibadah, dan niat baik.




2. Transformasi di Lingkungan Kampus: UKM Pagar Nusa UNAIR


2.1. Tantangan baru di dunia akademik


Saat memasuki Universitas Airlangga, saya mendapati bahwa kehidupan kampus menuntut kemandirian, disiplin waktu, dan tanggung jawab yang lebih kompleks.

Bergabung dengan UKM Pagar Nusa UNAIR membuat saya menyadari bahwa silat tidak hanya berfungsi sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai pendukung pembentukan karakter mahasiswa.


2.2. Pembinaan teknik dan etika yang lebih modern


Di UKM, latihan berjalan lebih terstruktur:


latihan fisik terukur,


pemahaman teknik dasar sampai lanjutan,


latihan taktik tanding,


sesi pemantapan stamina,


penguatan mental tanding.



Pelatih UNAIR menghadirkan pola pembinaan seperti organisasi profesional namun tetap menjaga nilai khas Pagar Nusa.


2.3. Pagar Nusa sebagai pembentuk soft skills


Mu’arif & Setiawan (2019) mengemukakan bahwa aktivitas UKM efektif membentuk soft skills mahasiswa. Hal ini saya rasakan melalui kegiatan:


kepanitiaan event,


latihan bersama lintas fakultas,


latihan rutin mingguan dan


pertemuan organisasi,




Dari kegiatan-kegiatan tersebut, saya belajar:


komunikasi yang asertif,


tanggung jawab terhadap tim,


ketahanan mental,


kepemimpinan berbasis contoh (lead by example).



2.4. Modernitas tidak menghapus tradisi


Meskipun latihan di kampus terasa lebih praktis dan adaptif, nilai-nilai tradisional tetap dijaga. Setiap pembinaan selalu disertai pesan moral dari pelatih, di antaranya terkait etika pesilat, kejujuran, serta tidak menggunakan kemampuan silat untuk hal negatif.




3. Teladan Para Sesepuh: Gus Maksum dan Nilai Kejujuran Pendekar


3.1. Gus Maksum sebagai figur penting Pagar Nusa


Salah satu teladan terbesar dalam sejarah Pagar Nusa adalah Gus Maksum Jauhari—pendekar kharismatik yang dikenal memiliki kemampuan bela diri luar biasa namun tetap sangat rendah hati.

Walau saya tidak bertemu secara langsung, banyak nilai beliau yang selalu disampaikan para pelatih sebagai pedoman moral.


3.2. Prinsip-prinsip etika pendekar NU


Beberapa prinsip yang sering kami dengar antara lain:


1. Pendekar melindungi yang lemah, bukan menakut-nakuti.



2. Keberanian sejati adalah pengendalian diri.



3. Jangan mengambil hak orang lain, termasuk kehormatan dan keamanan.



4. Persatuan lebih utama daripada kebanggaan pribadi.




Nilai-nilai ini bukan teori semata; ia ditanamkan dalam pembiasaan sikap saat latihan, saat organisasi, bahkan dalam kehidupan mahasiswa.


3.3. Kekuatan fisik dan moralitas


Pagar Nusa meyakini bahwa kekuatan tanpa akhlak hanya akan menciptakan kerusakan. Teladan para sesepuh membuat saya memahami bahwa menjadi pesilat bukan tentang menjadi paling kuat, tetapi menjadi paling bermanfaat bagi lingkungan.




4. Tradisi sebagai Identitas Generasi Muda


4.1. Tradisi hidup melalui praktik, bukan hanya cerita


Koentjaraningrat (2000) menyatakan bahwa tradisi tidak akan bertahan jika hanya diwariskan secara lisan. Tradisi akan hidup apabila dipraktikkan oleh generasi muda dan Pagar Nusa adalah contoh nyata ruang reproduksi budaya yang aktif.


4.2. Dua dunia yang saya jalani: pesantren dan kampus


Keduanya memberi saya dua kekuatan:


Pesantren memberi akar: nilai, adab, dan spiritualitas.


Kampus memberi sayap: wawasan, soft skills, dan jaringan luas.



Keduanya berpadu membentuk identitas saya sebagai pesilat modern yang tetap menjaga akar tradisi.


4.3. Tanggung jawab generasi hari ini


Sebagai pesilat muda, saya merasa bertanggung jawab untuk:


menjaga nama baik Pagar Nusa,


mengamalkan adab santri dalam kehidupan sosial,


melestarikan gerakan dan nilai pencak silat,


menolak praktik penyalahgunaan kekuatan,


mengembangkan kemampuan agar tradisi tetap relevan dengan zaman.





Kesimpulan


Perjalanan saya dalam Pagar Nusa adalah perjalanan pembentukan diri yang sangat berarti. Dimulai dari lingkungan pesantren yang sarat nilai, hingga lingkungan kampus yang menuntut profesionalisme dan manajemen diri, Pagar Nusa membentuk saya menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih disiplin, dan lebih beradab.


Pencak silat bagi saya bukan hanya seni bela diri, tetapi:


pendidikan moral,


pendidikan karakter,


warisan budaya,


ruang perjuangan,


dan identitas diri.



Sebagai anggota generasi muda, saya berkomitmen menjaga Pagar Nusa bukan hanya sebagai organisasi, tetapi sebagai jalan hidup yang membentuk kedewasaan dan integritas saya hari ini.





Daftar Pustaka


Dhofier, Z. (2011). Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.


Koentjaraningrat. (2000). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.


Mu’arif, M., & Setiawan, A. (2019). Organisasi Kemahasiswaan dan Pembentukan Soft Skills Mahasiswa. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 26(2), 185–194.


UNESCO. (2019). Pencak Silat — Intangible Cultural Heritage of Humanity. Paris: UNESCO.

Bagikan:

Komentar